Perjalanan menuju ke perkampungan
Sawai di Pulau Halmahera – Maluku Utara,
mungkin menjadi perjalanan ter-ekstrim dalam hidup saya. Padahal
perjalanan ini, tidak ada apa-apa-nya dibandingkan dengan cerita para petualang
yang menjelajah rimba, mendaki gunung maupun mengarungi samudera. Kampung Sawai
bukan merupakan lokasi terisiolir, ada akses menuju kesana. Tetapi kualitas
dari akses serta pengabaian keselamatan manusia mungkin yang menjadikan
perjalanan ini yang saya sebut cukup ekstrim.
Sebelum menuju Kampung Sawai,
terlebih dahulu kita tiba di Bandara Sultan Babullah Ternate setelah menempuh
perjalanan 3 jam dari Jakarta. Kemudian, kita harus menyeberangi dahulu Selat
Halmahera menuju Ke Kota Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara. Perjalanan
Ternate – Sofifi dapat menggunakan speed boat dengan waktu tempuh 45 menit atau
menggunakan kapal Ferry yang waktu tempuhnya lebih lama. Pemandangan sepanjang
penyeberangan menuju sofifi sungguh mengagumkan. Setelah beberapa saat menjauh
dari Pelabuhan Ternate, kita akan liat betapa Pulau Ternate begitu indah dengan
Gunung Gamalama yang menjulang anggun dan awan yang berada di puncaknya seperti
memberikan kesan asap mengepul. Bukan
hanya itu, di sekeliling disuguhi gugusan pulau-pulau kecil yang salah satunya
adalah Pulau Tidore.
Tiba di Kota Sofifi, perjalanan
kemudian dilanjutkan melalui darat menuju Kota Weda, Ibukota Kabupaten Halmahera
Tengah. Perjalanan ditempuh sekitar 3 jam. Jalan yang dilalui cukup mulus.
Kebetulan pada saat menuju Kota Weda, waktu hampir menuju sore. Dan disini kami
disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan, seperti berada di negeri di atas
awan. Ya, hutan tropis yang diselimuti kabut.
Setelah menembus hutan, tibalah
di sebuah kota kecil bernama Weda. Weda merupakan kota kecil di tengah hutan
yang berada di perairan halmahera yang tenang. Kami menginap di sebuah
penginapan yang dekat dengan Pelabuhan Weda. Hal yang tak akan kami lupakan
selama bermalam di Kota Weda yaitu kota ini sangat sering mati lampu, beruntung
penginapan menyediakan mesin genset, walaupun hanya mampu untuk penerangan,
tidak mampu untuk mengoperasikan mesin air.
Sudah menjadi hal yang wajib bagi
saya apabila mengunjungi suatu daerah adalah mencicipi makanan khas-nya. Tapi
seorang teman menganjurkan saya untuk tidak makan pepeda karena saya pasti tidak akan suka. Setelah dia mendeskrispikan
pepeda itu seperti apa, saya memang tidak berniat untuk mencicipi-nya. Karena
terletak di pesisir pantai, pasti sajian utama adalah ikan laut yang segar.
Menu makan siang dan makan malam, sajian-nya sop ikan bumbu kuning atau ikan
bakar atau goreng ditambah sambal dan lalapan. Yang menarik adalah menu sarapan
yang mungkin hanya ditemui di wilayah ini. Nasi kuning dengan lauk tumis ikan
cakalang, mie goreng dan tumis potongan ubi. Enak sekali...
Setelah mengunjungi kantor
pemerintahan dan wawancara dengan tokoh masyarakat di Weda terkait penelitian
yang kami lakukan, sore hari kami sempatkan untuk berkeliling sekitar Kota
Weda. Tujuan utama adalah Danau Nusliko, yang jaraknya hanya sekitar 1 Km dari
pusat Kota Weda. Danau/telaga Nusliko tidak seperti halnya danau pada umumnya
yang berair tawar, danau ini airnya asin. Mungkin dikarenakan danau ini
langsung terhubung dengan lautan yaitu Selat Weda.
Telaga Nusliko |
Setelah puas berfoto-foto,
jalan-jalan sore kami lanjutkan ke Pelabuhan Weda. Letak pelabuhan ini tidak
jauh dari pusat keramaian Kota Weda, bahkan dari hotel tempat kami menginap
tinggal jalan kaki saja. Pelabuhan Weda termasuk kelas Pelabuhan Perintis. Tiba
disana, kami menyaksikan pemandangan yang cukup menyenangkan. Anak-anak sedang
bermain di sekitar kapal besar yang sedang bersandar. Mereka tampak begitu
bahagia, bergelantungan, terjun dan byuuur berenang. Mereka begitu antusias
ketika saya memotret mereka. Sementara itu, nun jauh di tengah laut, nampak
suatu pulau yang sangat cantik. Pulau Imam demikian namanya. Pulau itu
merupakan tempat peristirahatan terakhir para imam Kota Weda yang telah
ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya Kota Weda. Sore itu merupakan salah
satu sore yang terindah di bagian timur Indonesia, walaupun cuaca saat itu
mendung sehingga tidak tampak lembayung di atas langit, tapi jernihnya air laut
Teluk Weda dan suara riang anak-anak pulau menjadikan sore itu suatu sore yang
sangat menyenangkan.
wahana bermain anak-anak pulau |
anak-anak gadis pun bermain di atas laut |
Foto Kami kakaaa..... |
Pulau Imam tempat persemayaman terakhir para Imam Kota Weda |
Ke esok harinya perjalanan kami
lanjutkan menuju Kampung Sawai. Sawai merupakan salah satu suku yang berada di
Halmahera Tengah. Selain merupakan suatu suku, Sawai juga merupakan suatu
bahasa. Bahasa Sawai dipergunakan lebih dari 12.000 penduduk di Halmahera
Tengah.
Perjalanan menuju Kampung Sawai
dari Kota Weda ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam. Beberapa lokasi menarik
saya jumpai begitu pula dengan lokasi yang menyeramkan. Yang menarik adalah
kami menemukan suatu resort yang cukup exclusive dan memiliki private beach. Sebelumnya
saya memang sempat googling penginapan di Weda dan menemukan nama Weda Resort.
Berbekal penasaran dan pura-pura ingin menanyakan rate, saya sempat masuk ke
kawasan resort ini. Tempat yang cukup
menarik untuk berbulan madu dan menenangkan diri.
Weda Resort |
Pemandangan dari depan Weda Resort |
Lokasi yang menyeramkan menurut
saya adalah medan menuju Kampung Sawai. Kurang dari 10 Km jalan dari Kota Weda
masih mulus. Tetapi setelah itu, jalan dalam kondisi rusak. Beberapa Km
menjelang memasuki Kampung Sawai, terdapat belokan dan tanjakan dengan jurang
menganga di kanan kiri jalan. Haduh, spot jantung kami dibuatnya. Ruas jalan
itu bernama “Bukit Melarat”.
Perkampungan Sawai Lelilef dan Woi Bulan |
Setelah melewati kampung bernama Kobe, sampailah
kami di Kampung Sawai. Kampung Sawai ini terbagi menjadi dua. Sawai Lelilef dan
Sawai Woi Bulan. Sawai Lelilef diperuntukan untuk warga yang beragama Nasrani
dan Sawai Woi Bulan untuk permukiman muslim. Tidak ada pembeda batas tegas dari
kedua desa ini, seperti gapura atau semacamnya. Hanya ada tugu batas desa. Yang
menjadi pembeda, terdapat gereja di Sawai Lelilef dan masjid di Sawai Woi Bulan. Terdapat satu
pasar di dekat kedua batas desa ini.
Pasar nya cukup bersih. Menyediakan berbagai jenis sayur mayur, barang-barang
pokok dan barang-barang kebutuhan lainnya.
Pasar yang cukup bersih |
Penyajian yang cukup menarik |
Berada di desa terpencil di Pulau
Halmahera, terkejut kami menemukan sebuah penginapan. Penginapan ini sangat
kecil dan hanya terdapat 3 kamar. Penginapan ini berada di lantai atas rumah
pemiliknya. Untuk keperluan makan, pemilik penginapan menunjukan kami sebuah
warung yang akan menyediakan kami makan dengan menu by request. Tentang makan
ini, ada satu kekecewaan kami. Berada di pinggir laut, tidak salah kami meminta
untuk disediakan ikan. Tetapi pemilik warung mengatakan tidak bisa menjanjikan.
Untuk mendapatkan ikan harus membeli ke Weda! Atau dari pemuda dan anak-anak yang iseng
memancing ikan dari pinggiran dermaga. Ternyata sangat sulit mencari ikan
karena sudah jarang sekali yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar
masyarakat di Kampung Sawai kini bekerja di pertambangan nikel yang
mengelilingi wilayah ini.
Memancing iseng untuk mendapatkan ikan |
Penginapan tempat kami menginap,
tidak jauh dari sebuah dermaga. Malam hari, kami berjalan menuju dermaga itu.
Pemandangan takjub kami temukan yang sangat jarang sekali ditemui di kota-kota
besar seperti Jakarta dan Bandung. Pemandangan itu adalah ribuan bintang
berpedaran di langit Sawai. Tetapi sayang sekali, lensa kamera saya tidak cukup
mumpuni untuk merekam anugerah Illahi tersebut. Tentang kamera, ada satu hal
yang cukup saya sesali seumur hidup saya. Saya tidak tidak tahu kalau di
kampung ini listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Saya lupa
mengisi batere kamera! Alhasil, kegiatan memotret saya tidak terlalu maksimal.
Setelah dua hari mengelilingi
Kampung Sawai dan berbincang-bincang dengan warga dan tokoh masyarakat, dan
setelah data dan informasi yang kami kumpulkan dirasa cukup, sebelum menjelang
sore kami memutuskan untuk kembali ke Weda. Pada saat berpamitan dengan salah
seorang tokoh masyarakat disana, beliau berpesan kepada kami untuk berhati-hati
ketika melewati ‘bukit melarat”.
Perjalanan menuju Weda dari
Kampung Sawai memang lebih berat dibandingkan ketika menuju Sawai dari Weda.
Ini dikarenakan ketika perjalanan pergi, medan cenderung menurun, dan
sebaliknya ketika pulang, medan menanjak. Untuk keseimbangan beban kendaraan,
sopir kemudian mengatur tempat duduk kami. Tapi tetap saja tidak cukup mampu
ketika harus melewati tanjakan yang sekaligus belokan. Demi keamanan, penumpang
semua turun. Berada di dalam mobil dan berjalan kaki saat di tengah jurang
hutan belantara, sama saja seram menurut saya. Menurut kabar dari tetua dia
Kampung Sawai, disitu banyak ular.
Inilah bukit melarat yang menyeramkan itu |
Menyempatkan berpose di tengah ekstrim-nya perjalanan |
Perjalanan yang cukup ekstrim
sepanjang tugas saya di Halmehera Tengah itu, ternyata belum selesai. Pada saat
pulang menuju Ternate saya mengalami kejadian yang membuat saya hanya bisa
pasrah pada kuasa Tuhan. Menggunakan speed boat bermesin dua kami menuju
Ternate dari Sofifi. Saat itu cuaca memang mendung, tetapi air laut relatif
tenang. Di tengah laut, tiba-tiba hujan disertai angin yang membuat ombak
menjadi tinggi. Boat kami terguncang keras ke kanan dan ke kiri. Di saat
nakhoda berusaha mengendalikan boat agar
tetap seimbang, tiba-tiba salah satu mesin mati. Haduh, saya langsung panik,
dan mencari pelampung.. dan ternyata kapal ini tidak menyediakan satu pun
pelampung.! Haduuh, disitu saya hanya bisa berdoa mohon pertolongan Tuhan dan
pasrah. Para awak kapal berusaha menghidupkan mesin yang mati, tetapi tetap
tidak bisa. Untung saja hujan mulai reda, dan air laut mulai tenang. Di
kejauhan Kota Ternate sudah mulai tampak. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai
dengan selamat.
Sungguh merupakan suatu
pengalaman ter-ekstrim dalam hidup saya. Perjalanan saya ke Halmahera ini,
sungguh-sungguh memperlihatkan betapa buruknya sistem transportasi di
Indonesia. Transportasi laut begitu mengabaikan keselamatan penumpang. Kondisi transportasi darat pun
demikian, banyak jalan rusak mengancam keselamatan. Maka ni’mat Tuhan manakah
yang kamu dustakan, ketika garis tangan ini menjadikan saya sebagai warga Kota
Bandung yang aksesibel. Jalan hotmix yang berlubang tidak sebanding dengan
puluhan bahkan ratusan kilometer jalan yang rusak di Halmahera sana. Alhamdulillah
:D
luar biasa perjalanannya.
ReplyDeleteMantap..jd nostalgia..6 bln sya brada disana..
ReplyDeleteMantap..jd nostalgia..6 bln sya brada disana..
ReplyDeleteHalo, apakah ada nomor yang bisa dihubungi? Kebetulah saya mau bertanya masalah transportasi dari bandara sultan babullah menuju weda. Saya ingin menuju tempat kerja teman saya di Sinar Terang Mandiri. Karena kebetulan akan berangkat sendiri. Terima kasih
ReplyDelete