Monday, December 29, 2014

Cerita Rekonstruksi Aceh : Perencanaan Desa Bersama Masyarakat - CAP Team - GTZ Aceh



Membaca berita-berita tentang tsunami Aceh terkadang masih membuat mata ini berkaca-kaca. Pun tulisan seorang jurnalis BBC Indonesia dalam majalah National Geografic Indonesia edisi Desember 2014. Pada bagian awal, dengan sub judul Kenangan Tak Terlupa, jurnalis tersebut menulis kata-kata ini : “Ada rasa sedih yang tersisa setiap teringat bencana tsunami Aceh, tetapi hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu”.
Ya, siapa pun yang pernah ke aceh pada saat setelah tsunami pasti akan merasakan hal yang sama, selalu sendu mengingatnya dan pasti menjadi suatu kenangan yang terlupa. Begitu pun yang terjadi pada saya, hampir 5 tahun saya tinggal di Aceh dan itu merupakan salah satu episode terbaik dalam hidup saya.

Mungkin keberadaan saya di Aceh tidak sehebat teman-teman relawan yang ikut mengevakuasi korban tsunami. Saya menginjakan kaki di Aceh pada bulan Agustus 2005, delapan bulan setelah kejadian tsunami. Sudah pasti bahwa pada saat itu sudah tidak ada lagi mayat yang harus di evakuasi. Tetapi rekonstruksi belum dimulai. Di beberapa wilayah yang terkena dampak, masih rata dengan tanah. Rasa getir begitu terasa ketika mengunjungi pantai lhoknga, dimana lautnya menjadi pusat gempa berkekuatan 9,3 SR.
Agustus 2005 - Perkampungan di sekitar terdamparnya kapal PLTD Apung


Agustus 2005 - Berada di atas kapal PLTD Apung yang terdampar 3 km dari tempat bersandar
November 2005 diantara reruntuhan rumah di Desa Baet - Aceh Besar
Tugas saya di Aceh yaitu menjadi fasilitator CAP. CAP Team berada di bawah naungan GTZ yang merupakan sebuah lembaga donor  milik pemerintah Federal German. Penamaan CAP Team berasal dari Community Action Planning (CAP)  yaitu sebuah metoda bottom up planning untuk menyusun rencana aksi suatu kawasan. Metode CAP yang diterapkan di Aceh dalam rangka perencanaan permukiman bersifat rapid planning. Pada saat itu, donor telah menyiapkan dana untuk pembangunan rumah bagi korban tsunami. Sebagai landasan pembangunan perumahan, maka disusunlah dokumen rencana dengan menggunakan metoda CAP. Hampir sebagian besar lokasi yang akan dibangun telah rata dengan tanah, sehingga sulit untuk menentukan batas-batas kepemilikan lahan. Community Action Planning kemudian dipilih sebagai metoda perencanaan. Perencanaan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat diatas sebuah maket sederhana untuk menunjukan dimana letak rumah. Selain itu dilakukan list permasalahan dan solusi serta prioritas pengambilan keputusan. Bersama-sama dengan masyarakat juga merancang desain rumah yang mereka inginkan. Selain itu, dilakukan juga manajemen bencana, yaitu menentukan jalur evakuasi serta escape building atau escape hill untuk menyelamatkan diri ketika tsunami datang menerjang. 

Bekerja di atas maket
 
Kegiatan perencanaan bersama masyarakat itu biasanya dilakukan di meunasah (tempat berkumpul masyarakat untuk bermusyawarah, tempat belajar mengaji, tempat ibadah yang biasanya merupakan focal point dari suatu permukiman di Aceh)  di tengah-tengah barak penampungan atau di bangunan mushola/masjid yang masih utuh. Memang suatu mukjizat Allah tentang keberadaan beberapa masjid yang masih tegak berdiri  pada saat diterjang tsunami. 

bermusyawarah di dalam mushola yang masih utuh

Bermusyawarah di meunasah di barak penampungan

Terdapat keunikan lokasi tersendiri ketika kami melakukan kegiatan perencanaan di beberapa lokasi di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Utara. Di  Kabupaten Pidie, yaitu di Gampong (desa) Pasilhok Kecamatan Kembang Tanjung lokasi ini sangat menarik. Terdapat suatu lokasi dengan tata ruang yang khas. Terdapat masjid tua dan disebelahnya terdapat bangunan yang berfungsi untuk musyawarah warga. Keberadaan masjid tua yang ukurannya kecil tetap dipertahankan, masjid baru dibangun di belakang. Terdapat juga balai yang diperuntukan sebagai lokasi anak-anak belajar mengaji. Kompleks masjid ini tidak persis berada di bibir pantai, berada di seberang jalan pantai dan berada di belakang perumahan yang pada umumnya bertipe panggung. Sehingga pada saat tsunami menerjang, kompleks bangunan masjid tua tidak mengalami kerusakan yang cukup berarti. 
Kompleks masjid tua di Gampong Pasilhok- Pidie yang terselamatkan dari terjangan tsunami

Oktober 2005 Beberapa bangunan yang rusak di Desa Jumerang - Pidie

Lokasi lainnya yang menarik menurut saya, yaitu Gampong Kuala Kereto Barat, Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Konon ceritanya, pada jaman Belanda,  desa ini merupakan lokalisasi penderita kusta. Memang pada saat kami kesana, beberapa orang terlihat sebagai penderita kusta. Desa ini habis tersapu tsunami. Caritas Germany bekerja sama dengan CAP – GTZ melakukan rekonstruksi di desa ini. Kami melakukan semacam land consolidation disini. Warga yang dahulu tinggal persis di bibir pantai, bersedia untuk dipindahkan ke lokasi yang lebih aman. Bersama-sama dengan masyarakat, kami menyusun suatu site plan, untuk meletakan fasilitas dan membagi kavling dengan ukuran yang sama rata. Desain rumah juga dibuat sesuai dengan keinginan masyarakat. kegiatan perencanaan bersama dengan masyarakat ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2006. Pada tahun baru 2007, bersama dengan seorang teman arsitek yang merancang rumah, kami kembali kesana untuk melihat perkembangan. Betapa takjub kami dibuatnya, karena pembangunan telah selesai dan sama persis sesuai dengan rencana yang kami buat. Bagi saya seorang planner, pembangunan yang sesuai dengan site plan yang saya buat merupakan suatu kebanggaan tersendiri. 
Februari 2006 merancang bentuk rumah di Ganpong Kuala Kereto Barat- Aceh Utara   





Januari 2007 - Permukiman baru Gampong Kuala Kereto Barat - Aceh Utara