Sunday, December 22, 2013

Perjalanan Ke Perbatasan Negara (1) : Nunukan



Perjalanan ke perbatasan negara, merupakan pengalaman yang paling tidak terlupakan  bagi saya. Karena suatu tugas, saya berkesempatan mengunjungi perbatasan di Kalimantan Utara. Wilayah perbatasan yang pertama kali saya kunjungi adalah Nunukan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akhirnya bisa sampai kesana. Selama ini, saya hanya mendengar dari beberapa teman yang pernah kesana, dan melihat dari TV. Berita yang sering disampaikan di TV biasanya tentang TKI yang bermasalah dan dipulangkan oleh pihak Malaysia. Teman yang pernah kesana, bercerita bahwa ketika begitu banyak jumlah TKI yang sedang menunggu untuk dipulangkan ke daerah-nya masing-masing, sehingga kapasitas penampungan overload, sampai ditemukan kotoran manusia dimana-mana. Oohh, sungguh kesan suatu kota yang mengerikan bagi saya. Tetapi, cerita teman saya itu, Alhamdulillah tidak saya temukan ketika dua kali berkunjung ke Nunukan. 

Perjalanan ke Nunukan dari Kota Tarakan dapat ditempuh hanya 15 – 20 menit menggunakan pesawat jenis Cessna dengan kapasitas penumpang 11 orang atau  jenis ATR dengan kapasitas penumpang lebih banyak. Kalau menggunakan speed boat yang berkapasitas 45 orang, waktu tempuh perjalanan sekitar 2,5 jam. Kebetulan saya pernah mencoba semua jenis moda transportasi tersebut untuk menuju Nunukan. 
Pelabuhan Tarakan
Ibukota Kabupaten Nunukan berada di Pulau Nunukan. Pusat pelayanan skala kabupaten ini yang telah ditetapkan sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN) dalam Rencana Tata Ruang W ilayah (RTRW) Nasional, terdiri atas dua kecamatan, yaitu Nunukan dan Nunukan Selatan. Kabupaten Nunukan sendiri terdiri atas 15 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut selain terhampar di daratan Pulau Kalimantan bagian utara yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah – Malaysia Timur, juga tersebar di 25 pulau. Selain Pulau Nunukan dan Sebatik, pulau-pulau lainnya dikategorikan sebagai pulau-pulau kecil. 

Kota Nunukan

Luas Pulau Nunukan yaitu 23.190 Ha dengan jumlah penduduk 66.758 jiwa pada tahun 2011. Terdapat 2 pelabuhan besar, yaitu Pelabuhan Nasional Tunontaka dan Pelabuhan Liem Hie Djung /Tanah Merah. Pelabuhan Tanah Merah dipersiapkan sebagai pelabuhan penyeberangan internasional dengan fasilitas CIQS yang sudah lengkap. Tetapi sampai saat ini, pelayanan penyeberangan internasional ke Tawau-Malaysia dan antar pulau di Indonesia masih berlangsung di Pelabuhan Tunontaka. 

Pelabuhan Liem Hie Djung - Nunukan

Kawasan perkotaan Nunukan terpusat di Kecamatan Nunukan, sedangkan kantor pemerintahan Kabupaten Nunukan terpusat di Kecamatan Nunukan selatan. Cukup terkejut ketika di sebuah kota kecil yang sangat jauh dari Pulau Jawa terdapat penginapan yang fasilitas-nya lebih dari lumayan (karena ekspektasi saya tidak sejauh itu). Sepanjang pengetahuan saya berada Nunukan, terdapat 3 hotel yang masuk ke kategori lumayan ini. Selain pasar tradisional, toko dan warung, fasilitas perdagangan modern (minimarket) tersebar di beberapa lokasi. Hampir seluruh minimarket  di Nunukan menyediakan oleh-oleh khas perbatasan : coklat, teh tarik dan milo buatan malaysia. Ada satu hal lain yang cukup mengejutkan, gaya hidup ngafe seperti di kota-kota besar mulai merambah Nunukan. Tetapi tidak ada cafe yang wah, hanya cafe kecil biasa yang menyediakan makanan standar seperti kentang goreng, burger dan kopi. Tetapi, untuk ukuran suatu kota kepulauan, ini sangat lumayan. 

Nunukan memang sudah selayaknya dipersiapkan sebagai suatu kota kecil di perbatasan. Sebab, Nunukan merupakan pintu masuk  negara atau istilah lain sebagai Beranda Depan Negara. Apabila membandingkankan dengan Kota Tawau yang  dapat ditempuh hanya 1 jam dari Nunukan, negara Malaysia seolah ingin menyombongkan diri: “ Ini awak, kota peradaban yang menjadi tujuan sebagian besar warga negara anda di seberang sana untuk memenuhi kebutuhan pokoknya”.

Memang betul begitu adanya sebagian kebutuhan pokok masyarakat Nunukan berasal dari Malaysia. Kebetulan saya juga berkesempatan mengunjungi Kota Tawau. Saya mengamati pergerakan manusia dan barang ketika menuju Tawau dan dari Tawau menuju Nunukan. Warga Nunukan yang ke Tawau, kebanyakan bertujuan untuk berbelanja, sehingga kapal menuju Tawau hampir seluruhnya mengangkut manusia. Tetapi, keadaan berbalik ketika kapal bergerak menuju Nunukan. Dek bagian atas kapal penuh oleh barang. Barang yang dibawa tersebut antara lain barang-barang elektronik, pakaian dan bahan makanan.  

Membandingkan Kota Tawau,  sungguh sangat jauh berbeda dengan Nunukan. Karakter perkotaan di Tawau sangat kuat. Aktivitas yang mendominasi yaitu industri, perdagangan dan jasa. Konon kabarnya, sebagian besar pekerja di sektor sekunder dan tersier tersebut berasal dari Indonesia. Kota Tawau sangat tertata rapih,  bersih dan sangat tenang. Walaupun kota, tetapi saya tidak menemukan hiruk pikuk disana. Kota yang menghadap laut ini, menata kawasan waterfront city-nya dengan baik. Tersedia taman yang lengkap dengan sarana permainan anak-anak. Kawasan waterfront dan kawasan perdagangan steril dari Pedagang Kaki Lima. Ada lokasi terpusat khusus untuk para PKL tersebut. Lalu lintas pun sangat teratur. Terdapat terminal di tengah kota. Terminal tersebut ditata begitu rapih, bersih dan nyaman.  Sangat jauh dari kesan seram seperti kita mengungungi terminal-terminal di sebagian besar kota di Indonesia. 

Kawasan perdagangan di Kota Tawau - Steril dari PKL
Saya berkesempatan pula untuk mengamati kondisi permukiman disana. Tidak dipungkiri bahwa masih terdapat permukiman terapung, yang menurut supir taxi yang mengantar saya berjalan-jalan, permukiman itu sebagian besar adalah orang-orang Bajau. Kemudian, supir taxi mengantarkan saya menuju ke suatu flat. Menurutnya, flat itu relokasi dari permukiman nelayan yang terbakar. Relokasi untuk permukiman nelayan, berarti flat itu bukan untuk kelas atas. Tetapi, kondisinya sangat rapih dan bersih, seperti apartemen menurut saya.  Supir taxi yang ternyata berasal dari suku Bugis itu, kemudian mengantarkan saya untuk melihat kondisi permukiman tempat dia tinggal. Hampir seluruh rumah di permukiman bapak supir taxi  itu bertipe rumah panggung. Yang menarik perhatian saya adalah, kolong rumah ternyata dimanfaatkan untuk ruang lain, seperti menjadi garasi, toko atau hanya sekedar tempat menyimpan balai-balai untuk bersantai. Yang terpenting dicatat adalah, kolong-kolong itu sangat bersih. 
Kolong rumah dimanfaatkan untuk garasi

Infrastruktur permukiman seperti jalan tersedia dengan baik, dengan drainase di kanan kiri dalam kondisi bersih tidak ada sampah. Setiap rumah memiliki MCK dengan sistem penyediaan air bersih perpipaan. Pemerintah Malaysia sepertinya telah memenuhi unsur standar pelayanan minimal untuk warga negara-nya. Sedangkan di Nunukan? Terdapat beberapa titik permukiman padat penduduk dengan infrastruktur permukiman yang sangat minim. Bayangkan ketika kita memasuki wilayah Malaysia. Pemandangan pertama yang kita liat adalah suatu kota dengan gedung-gedung bertingkat. Sementara itu, ketika memasuki Nunukan, yang pertama kita lihat adalah permukiman kumuh. 
Permukiman terapung di sekitar Pelabuhan Tunontaka- Nunukan

Nunukan memang tidak harus seperti Tawau dengan gedung-gedung bertingkatnya. Tetapi, minimal ketika kita memasuki Nunukan, terpampang pemandangan indah suatu kota yang tertata rapih dan bersih dengan permukiman penduduk yang telah memenuhi standar pelayanan minimal. Dan ini adalah soal harga diri bangsa. Adalah konsekuensi pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan di wilayah ini, karena telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional. Bahkan pemerintah sendiri melalui Rencana Program Jangka Panjang (RPJP), telah menetapkan reorientasi arah perkembangan perbatasan negara dari Inward Looking menjadi Outward looking. Kawasan Perbatasan tidak lagi dianggap sebagai halaman belakang negara, tetapi kawasan perbatasan sebagai  halaman depan negara bahkan sebagai entry point pertumbuhan ekonomi wilayah.
Mengenai kondisi permukiman, pertanyaan saya adalah “Kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang disiplin? Ketika hendak meninggalkan Kota Tawau, saya sempat bertanya pada supir Taxi : “bapak berasal dari Bugis yang nenek moyang-nya berasal dari  wilayah Indonesia. Tapi kenapa disini  bisa rapih sementara disana tidak pak?” dan bapak itu menjawab : “ada petugas pemerintah yang selalu memantau dan memberikan kami pengarahan untuk membersihkan lingkungan”. Ternyata ini adalah soal tata kelola serta political will dari pemerintah. Harus diakui, pemerintah Malaysia selangkah lebih maju dibandingkan kita.

Tuesday, December 10, 2013

Inspirasi dari Film Sokola Rimba : Peran Indigenous People dalam Proses Penataan Ruang.



Membaca twit seorang teman, ternyata film Sokola Rimba menuai kontroversi. Ada beberapa pihak yang menyayangkan kenapa Riri Riza lebih mengangkat konflik internal. Mengangkat konflik internal malah ditakutkan akan menghambat gerakan itu sendiri. Saya belum membaca buku Sokola Rimba yang ditulis oleh ibu guru Manurung, tapi saya sempat melihat film-nya. Pada saat menonton film, penilaian saya terfokus pada keberadaan Suku Anak Dalam, dan saya kurang memperhatikan adegan tentang konflik internal itu. Suku Anak Dalam sungguh jauh dari peradaban, baju pun hanya cawat, dan yang paling sedih mereka dibodoh-bodohi oleh mereka yang telah diberi hak pengelolaan hutan. Keberadaan Suku Anak Dalam semakin terdesak oleh aktivitas penebangan pohon dan merajalela-nya perkebunan sawit. Sama seperti kita, mereka pun punya hak hidup kan? Hidup di tempat mereka merasa nyaman untuk berpenghidupan. 

Suku anak dalam termasuk  ‘indigenous people’ atau masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat. Nenek moyang mereka telah ada jauh sebelum negara ini berdiri. Tetapi, sudah kah negara memikirkan hak hidup mereka? Tidak jarang kita mendengar berita tentang konflik negara atau suatu korporasi dengan masyarakat tradisional. Konflik itu terjadi karena masyarakat tradisional merasa hak-nya dirampas. Dan apakah negara sudah cukup melindungi mereka? Pernah terpikir kah  bahwa mereka yang jauh dari peradaban dan sangat dekat sekali dengan kebodohan, memiliki peranan dalam pembangunan? 

Mungkin kita sebagai manusia yang lebih beruntung dilahirkan di dunia modern, akan mengernyitkan dahi ketika ada salah satu adegan di film Sokola Rimba, untuk mengambil madu saja mereka harus melakukan suatu ritual dengan jampi-jampi yang aneh. Tapi jangan salah, ritual itu merupakan bentuk penjagaan terhadap pohon itu sendiri. Masyarakat adat yang tinggal di hutan, dijamin tidak akan merusak hutan. Karena mereka hidup dari hasil-hasil hutan. Mereka punya kepercayaan ada pohon-pohon tertentu yang dilarang untuk ditebang. Larangan itu pun memiliki makna. Seperti yang ditunjukan di film Sokola Rimba, pohon itu diperlakukan istimewa karena merupakan sarang lebah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas. 

Sebelum pemerintah mengeluarkan suatu larangan untuk menebang pohon di hutan lindung, masyarakat adat pun telah memiliki larangan itu. Contoh lain di belantara hutan Indonesia lainnya  adalah, suku Dayak Kalimantan memiliki suatu ‘pukung pahewan’ atau hutan yang dilarang untuk ditebang. Suku Dayak Benuaq di Kutai Barat memperlakukan secara istimewa pohon Benggaris. Pohon Benggaris adalah salah satu pohon tertinggi (bisa mencapai 80 meter) di hutan hujan tropis. Diperlukan istimewa karena pohon tinggi ini merupakan sarang lebah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, masyarakat suku Dayak Benuaq menerapkan aturan yang ketat pada pohon ini, termasuk pada aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. 

Bentuk-bentuk larangan masyarakat adat yang kadangkala dibungkus dalam mitos adalah peran mereka terhadap pembangunan. Sesungguhnya para masyarakat yang tinggal di hutan itu  tidak akan menebang pohon secara besar-besaran menggunakan gergaji yang suaranya memekakkan telinga. Mereka hanya berbekal alat-alat sederhana dan hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya butuh ranting untuk bahan bakar, dan mengumpulkan rotan-rotan untuk dijual ke kota terdekat, untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Keberadaan mereka seharusnya dilindungi karena hutan sudah dijaga oleh mereka. Ketika pemerintah menetapkan suatu kawasan sebagai hutan lindung atau taman nasional, seharusnya bukan hanya melindungi dalam arti fisik wilayah, tapi manusia di dalamnya sebagai penghuni juga harus dilindungi. 

Lebih jauh, masyarakat indigenous itu memiliki pengetahuan lokal untuk menata ruang. Selain mereka memiliki hutan larangan, ada bagian hutan lain yang diperuntukan sebagai hutan produksi. Suku Dayak Benuaq membagi hutan menjadi 6 zona yang memiliki fungsi masing-masing seperti khusus untuk tempat berladang, perkebunan, berburu dan memungut hasil hutan bukan kayu, hutan untuk tanaman keras dan hutan yang diperuntukan bagi pembangunan rumah. Masyarakat Dayak Ngaju di Katingan Kalimantan Tengah membagi hutan untuk tempat bermukim, tempat berburu, tempat berladang, dan tempat untuk tanaman buah-buahan. 

Pengetahuan lokal itulah yang menjadi peran mereka terhadap pembangunan. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan masyarakat hukum adat dan pengetahuan lokal yang dimilikinya, telah diakui keberadaannya oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang menjelaskan bahwa bentuk dan peran masyarakat dalam penataan ruang dapat berupa : (1) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (2) peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut dan ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Perangkat peraturan telah mengakui keberadaan dan mendukung upaya untuk lebih memperhatikan hak-hak mereka. Bagaimana dengan implementasi-nya? Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai pedoman dalam menata ruang seharusnya sudah dapat mengakomodir ini. Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, disebutkan bahwa dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten, peran serta masyarakat harus dilibatkan dari mulai proses persiapan sampai tahap pengesahan. Pengetahuan lokal seharusnya dijadikan sebagai masukan dalam proses perencanaan ruang. Keberadaan masyarakat hukum adat dengan pengetahuan lokalnya dapat dilibatkan terutama dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Indonesia yang terdiri dari beragam suku budaya, memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga, seharusnya substansi peran masyarakat dalam penataan ruang di setiap wilayah itu berbeda-beda, memiliki keunikan tersendiri, tidak terjadi penyeragaman kata-kata.