Monday, February 21, 2022

Batam : kota yang terus bergeliat melawan stigma kegagalan, kuliner dan warung kopi

don’t judge book by the cover ! itu mungkin kalimat yang tepat untuk pribadi saya, ketika menilai Pulau Batam.

Pertama kali ke Batam, awal tahun 2017. Excited banget, karena ini pertama kali nya saya mendarat di Provinsi Kepulauan Riau. Wishlist dari dulu, ingin menginjakan kaki di pulau-pulaunya. So Blessed, dari atas pesawat saya bisa melihat pulau-pulau seperti bertebaran gitu.. dan klimaks ketika berhasil me-motret jembatan Barelang, ikon nya Pulau Batam. Setiba nya di Bandara Hang Nadim, jadi kampungan, sibuk mengabadikan diri untuk bukti sudah menginjakan kaki di Batam. Sebetulnya, tujuan utama kami adalah Pulau Karimun, tapi kami memilih untuk menginap dulu 1 malam di Batam.





Tempat-tempat yang terkenal dengan barang-barang impor adalah yang pertama kami kunjungi, seperti Kawasan niaga Nagoya, dan Batam City Square. Kuliner yang sempat kami icip adalah Mie Tarempa, mie khas Pulau Anambas bentuk nya agak lebar dan kotak seperti spagetti, bumbu nya kaya akan rempah, pedas dan toping nya ikan. Sebagai penggemar mie, saya suka. Kuliner lainnya yang  pasti nya seafood, walaupun pada saat itu kami makannya di mal, tetapi yang penting sudah sempat mencicipi seafood dari laut sekitar Batam. Wisata kuliner dan mengunjungi 2 mal itu cukup dalam rentang waktu dari jam 2 siang sampai jam 10 malam. Besok pagi nya, sebetulnya masih ada waktu untuk berkeliling kota karena kapal kami menuju Karimun baru akan berangkat jam 2 siang. Tapi, kemana lagi ya? Karena saya pikir, Nagoya adalah pusat kota-nya. Katanya ada tempat khusus untuk barang-barang elektronik, tapi kami tidak berminat untuk itu. Akhirnya, sebelum check out dari hotel, kami putuskan jalan-jalan ke mal yang lain, yaitu Harbour Bay Mal, yang lokasi nya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Tidak banyak yang bisa dilihat, tenant-tenant belum banyak terisi jadi sepi.Cukup singkat memang waktu itu berada di Kota Batam, dan kesan saya, biasa aza, nothing special, hanya sebuah kota sepi yang sedang tumbuh ditandai maraknya pembangunan ruko.

Tapi, kesan itu kemudian berubah menjadi kekaguman, ketika 3 tahun kemudian saya datang kembali ke Kota Batam. Kok rasa nya berbeda banget ya? Kota nya ramai, gedung bertingkat dibangun dimana-mana. Saya kaget ketika pertama kali menuju Batam Centre, oooh ini city centre nya? Kok bagus? Ahaa, waktu kunjungan tahun 2017, memang saya tidak sempat ke Batam Centre, karena saya kurang informasi tentang Batam Centre. Kantor walikota nya disini, kantor BP Batam disini dan masjid raya nya juga disini dan ada Museum Batam Raja Ali Haji. Di seberang museum ada Hotel Harris berlantai 10 , view nya laut lepas dan menghadap ke Singapura. Pada saat saya kesana tahun 2020, mega proyek keluarga besar mantan presiden BJ Habibie yaitu superblok  Meisterstadt atau Pollux Habibie masih dalam tahap pembangunan. Megasuperblock ini konon adalah impian BJ Habibie yang dirancang akan memiliki 11 gedung pencakar langit yang terdiri atas 8 menara apartemen sebanyak 6500 unit, 1 hotel bintang lima, 1 rumah sakit bertaraf internasional, mall raksasa, serta 1 perkantoran dengan rencana ketinggian 100 lantai.  Sampai dengan saat ini, telah dibangun 4 tower yang telah difungsikan untuk apartemen dan Mega Mall Batam. Tower kelima direncanakan akan menjadi gedung pencakar langit dengan ketinggian 350 Meter.

 





Tiga kali di tahun 2020 perjalanan dinas ke Batam, cukup membuat saya mengenal kota ini. Belum seluruh pulau saya explore, tapi lumayan lah sudah membelah pulau ini dari utara ke selatan. Saya sampai pada titik kesimpulan, untuk belajar rancang kota, datang lah ke Kota Batam. Tapi sayang sekali, tidak banyak foto landcape kota yang saya ambil. Karena tekanan pekerjaan yang menguras pikiran dan energi , tidak terlalu banyak waktu untuk memotret diluar pekerjaan.

Kota ini dibangun ketika sebagian besar tutupan lahannya masih berupa hutan, dan sampai saat ini masih terdapat peruntukan untuk hutan lindung di Pulau Batam walaupun keberadaannya semakin terancam oleh pembangunan.


Saya tidak tahu persis berapa proporsi guna lahan untuk ruang terbuka hijau di Kota Batam.  Sepanjang pengamatan saya di beberapa lokasi masih terdapat hutan yang dipertahankan dan menjadi hutan kota serta median jalan yang sekaligus berfungsi sebagai jalur hijau dengan pepehonan yang rimbun. Kondisi ini menarik bagi saya, karena masih bisa menikmati hijaunya pepohonan di tengah kota seperti pada saat keluar dari bandara menuju pusat kota, kita akan melewati hutan-hutan kota. Batam pun sekarang sedang mempercantik diri dengan dibangunnya taman-taman tematik.

Saya juga belum mempelajari masterplan Pulau Batam sejak pertama kali pulau ini dibangun sebagai Otorita Batam pada tahun 1973. Tapi dengan hanya mengelilingi pulau ini, otomatis kita akan paham, pusat kota nya adalah Batam Center, Nagoya adalah pusat kegiatan perdagangan dan jasa, dan kawasan-kawasan industri dibangun di luar pusat kota dan tersedia beberapa pelabuhan. Permukiman dialokasikan tersebar di seluruh kota dilengkapi sarana perdagangan seperti pasar dan ruko. Cukup menonjol dari Kota Batam menurut saya adalah sebagian besar perumahan dibangun oleh developer. Jadi sebaran permukimannya mengelompok, jarang sekali saya melihat permukiman linier.

Karakteristik perumahan nya pun nampak mengikuti kaidah-kaidah rencana tapak. Lapis pertama adalah sarana perdagangan dan jasa, dan perumahan berada di lapis kedua. Apa yang kita pelajari di text book, salah satunya dapat dilihat di Batam Centre. Urutan Bangunan - GSB/Pekarangan - pedestrian/drainase - jalur hijau - badan jalan - median hijau - badan jalan nampak jelas di aplikasikan.

Mengenai jalan, adalah salah satu yang membuat saya suka berada di Kota Batam. Jalan utama nya lebar-lebar dan jarang menemui kondisi jalan yang rusak. Seperti di Jalan Engku Putri - Fly Over Simpang Jam/Madani terdiri dari dua jalur, dengan masing-masing 5 lajur dan dilengkapi jalur hijau dan lampu jalan yang  estetik. Menyenangkan sekali melewati jalan yang lebar dan masih terdapat pepohonan di sekitarnya. Garis Sempadan Bangunan pun nampak lebar, jadi bangunan tidak mepet ke jalan. Beberapa persimpangan jalan nampak sedang dibangun bundaran. Saya tidak tahu, apakah di bundaran yang dibuat taman itu akan dibuat suatu monumen. Beberapa monumen di Kota Batam telah dibangun, tapi menurut saya masih kurang monumental, seperti juga taman-taman tematik yang perlu dibuat lebih menarik dan pedestrian yang lebih nyaman untuk digunakan pejalan kaki.

Hal yang terpenting dalam sebuah kota adalah ketersediaan air. Air baku Kota Batam seluruhnya bersumber dari air permukaan, yaitu waduk. Terdapat 6 waduk yang telah dibangun untuk memenuhi kebutuhan air di Kota Batam. Hampir seluruhnya lokasi waduk ini mudah dijangkau dan membelah Kota Batam. Waduk  yang cukup dekat dengan pusat kota adalah Waduk Ladi, waduk ini sering terlewati dalam perjalanan dari tempat kami menginap di Nagoya/Batam Centre menuju pusat perkantoran Kota Batam sekitar Sekupang. Waduk  lainnya yaitu Waduk Duriangkang, yang merupakan waduk terbesar. Waduk ini pernah saya lewati dalam perjalanan menuju Tanjung Piayu (wilayah yang cukup terkenal sebagai lokasi kuliner seafood). 

Nah, mengenai kuliner, adalah faktor lainnya yang membuat saya menyukai Batam. Kuliner seafood selain di Tanjung Piayu, lokasi lainnya yaitu di Harbour Bay. Kalau datang sore hari, bisa sekalian menikmati sunset. Kedua lokasi tersebut, berada di pinggiran kota.  Kalau di pusat kota, untuk kuliner seafood bisa kita temui di sentra kuliner/food court di Nagoya. Saya sempat mengunjungi dua tempat, Nagoya Food Court dan Windsor Food Court. Food court yang menyediakan berbagai macam masakan dari chinese, padang, melayu dan western ini buka di malam hari.  Menurut saya harga masih masuk akal. Foodcourt tersebut mengusung konsep outdoor, menyediakan live music, dan ada yang menarik perhatian saya, karena jarang ditemui di kota Indonesia lainnya, yaitu mba-mba SPG yang menawarkan minuman bir dengan berkeliling.



Faktor lainnya yang membuat saya semakin menyukai kota ini adalah, karena sebagian besar warga ber-etnis Melayu dan tidak sedikit warga peranakan, mereka memiliki budaya ngopi. Tidak akan kesulitan menemui warung kopi. Sebagian besar memang mengusung konsep‘warungkopi tradisional dengan bungkus modern’, maupun konsep cafe modern.  Ada sebuah warung kopi yang sangat terkenal di Batam, dan itu menjadi lokasi yang pasti kami kunjungi setelah pesawat landing di Kota Batam dan menjelang pesawat takeoff meninggalkan Batam. Favorit saya selain kopi tarik yaitu teh tarik yang rasa nya mendekati teh tarik di negeri sebrang.


Mengenai negeri sebrang , ada warung kopi yang cukup terkenal, yang terletak di sebuah pulau dan jarak nya cukup dekat dengan Singapura. Pulau tersebut bernama Pulau Penawar Rindu,  bagian dari Kecamatan Belakang Padang. Menggunakan perahu kayu, kami menyeberang dari Pelabuhan Sekupang dengan waktu tempuh 15 menit. Sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung tinggi Singapura. Warung kopi yang kami tuju, letak nya cukup dekat dengan Pelabuhan Pulau Penawar Rindu dan berada di pasar. Sebetulnya menu yang disajikan tidak berbeda jauh seperti yang ada di kopi tiam di Batam, ada kopi dan teh tarik, makananya ada Mie Lendir yang merupakan mie khas Kepulauan Riau, mie ayam serta canai.


Kami menyempatkan berjalan ke sekitar Pasar. Cukup menarik, saya merasakan nuansa kawasan perdagangan khas Pecinan. Tidak jauh dari pasar, ada beberapa bangunan tua bergaya Indis, dan salah satunya difungsikan sebagai Kantor Imigrasi. Letak kantor ini lebih tinggi dari bangunan di sekitarnya, dan dari sini kita bisa melihat Singapura, Marina Sand Bay dan Singapura Flyer! Sayang sekali pada saat kami kesana, cuaca kurang mendukung, mendung sehingga tidak mendapatkan foto Singapura dengan langit yang cerah. Tetapi konon kabarnya memang akan sangat sulit bisa melihat Singapura dengan kondisi cerah, selalu nampak diselimuti kabut. Tapi cukup membuat saya senang dan mengobati keinginan untuk berkunjung kembali ke Singapura. Padahal jarak sudah begitu dekat, tetapi karena masih masa Pandemi Co19, pintu perbatasan ditutup.





Itulah sedikit cerita saya membuka lembaran buku Kota Batam (walaupun belum seluruh halaman saya baca), yang membuka mata dan hati saya untuk Kota Batam. Kesan yang cukup mendalam tentang Batam, sehingga terbersit keinginan untuk tinggal dan ber-investasi di Pulau ini. Melalui media sosial, saya terus mengikuti perkembangan Kota Batam, yang terus bergeliat untuk membayar keterlanjuran stigma kota yang gagal. Mudah-mudahan impian Pak Habibie untuk menjadikan Batam sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terwujud.