Sunday, April 6, 2014

Wisata telusur Sungai Katingan di Desa Baon Bango - Kalimantan Tengah



Ketika mendapat tugas untuk suatu penelitian tentang Suku Dayak di Kalimantan Tengah, pertama kali yang terbayang dalam benak saya adalah suatu suku yang berdiam di tengah-tengah hutan dengan pohon-pohon besar. Tetapi bayangan tersebut sirna ketika saya mengunjungi suatu desa bernama Baun Bango yang terletak di pinggiran Sungai Katingan, sungai terpanjang kedua di Kalimantan Tengah yang memiliki panjang ±650 Km, lebar ±300 Meter dan kedalaman terendah ± 6 M.

Baun Bango adalah ibukota Kecamatan Kamipang, yang secara administrasi termasuk Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Jarak menuju Desa Baun Bango yang ditempuh melalui jalur darat dari Kota Palangkaraya sekitar 154 Km dan dari Kota Kasongan (ibukota Kabupaten Katingan) sekitar 71 Km. Perjalanan dari Kota Palangkaraya menuju Kota Kasongan ditempuh kurang lebih 1,5 jam, dengan kondisi jalan yang sangat mulus. Berbeda cerita ketika perjalanan menuju Desa Baun Bango dari Kasongan. Jarak 71 Km ditempuh kurang lebih 3 jam. Cerita seru saya dapatkan dalam perjalanan ini. 

Pusat keramaian yang pertama kali ditemui setelah Kasongan adalah Karang Pange. Orang-orang disana menyebut Karang Pange seperti Texas, Kota Tambang Emas. Dibandingkan dengan Kasongan sebagai ibukota kabupaten, Karang Pange memang lebih ramai terutama dari ketersediaan sarana perdagangan. Di kota ini, saya menemukan suatu pemandangan yang sangat menakjubkan. Sepanjang kanan kiri jalan terhampar lautan pasir putih, padahal wilayah ini bukan pesisir. Ketika saya tanya pada driver, ternyata lautan pasir itu bekas pertambangan emas. Konon katanya, pada era orde baru, suatu perusahaan melakukan eksploitasi pertambangan emas. Kandungan isi bumi dikeluarkan untuk mendapatkan pasir yang berkilau. Setelah isi kandungan bumi dikeluarkan, tanah tidak dapat kembali seperti semula, tidak produktif, tidak dapat diolah, tidak dapat ditanami apapun. Seperti halnya permadani, yang jahitannya terpaksa dibuka dan dikorek sampe dalam. Permadani itu tidak akan berbentuk seperti semula, rusak terkoyak. Miris melihat ribuan hektar tanah terhampar rusak, tidak dapat dimanfaatkan. 


Hamparan pasir putih eks pertambangan emas di Karang Pange - Kalimantan Tengah

Jalanan yang berada diantara hamparan pasir eks tambang emas, ternyata adalah  ruas jalan terakhir yang relatif baik. Setelah hamparan pasir itu berlalu, mulailah episode offroad kami melewati jalan tanah berbatu. Parah sangat parah jalan yang kami lalui, entah bagaimana ceritanya kalo pas hujan melewatinya, mungkin benar-benar di arena offroad berlumpur. 


Kondisi jalan dan jembatan menuju Desa Baun Bango

Saya membayangkan, mungkin dahulu ini jalan dibuat dengan membuka hutan. Karena di kanan kiri sepanjang jalan adalah hamparan hutan yang sayangnya sudah tidak rimbun lagi. Kalau melihat dari kemiringan dan ketinggian lahan, sepertinya hutan-hutan yang kami lalui memang bukan hutan lindung, mungkin masuk kategori hutan produksi. Sepertinya lahan hutan tersebut  sedang dibuka untuk lahan kelapa sawit. 

 
Lahan hutan yang telah dibuka dengan cara dibakar

Sepanjang jalan dari arah Karang Pange menuju Baun Bango, tidak banyak permukiman penduduk yang kami temui. Hanya ada beberapa warung, yang mungkin berfungsi sebagai “rest area”. Semakin dekat menuju Baun Bango, kami menemukan permukiman transmigrasi. Beberapa Km setelah permukiman transmigrasi, kondisi jalan kemudian mulai membaik. Ternyata, kami mulai memasuki pusat kecamatan Kamipang. Lahan terbangun yang pertama ditemui adalah pusat perkantoran, yang pada saat kami kesana, perkantoran tersebut belum ditempati. Kemudian, semakin ke dalam mulailah ditemui banyak perumahan penduduk yang berjejer sepanjang jalan. Inilah Desa Baun Bango, sebagai ibukota Kecamatan Kamipang. Dan desa ini, adalah desa terakhir yang terdapat jaringan jalan darat. Untuk menuju desa-desa yang terletak di hilir, harus menggunakan alat transportasi sungai, yaitu perahu kelotok atau perahu ces (perahu kayu yang bermesin).

 
Ujung jalan darat di Desa Baun Bango


Kelotok sebagai alat transportasi andalan masyarakat di sepanjang Sungai Katingan


Sebagai ibukota kecamatan, pusat pelayanan berada di Baun Bango. Selain kantor kecamatan, terdapat kantor polisi, kantor koramil dan puskesmas rawat inap. Fasilitas pendidikan mulai dari SD, SMP dan SMK. Fasilitas perekonomian selain warung yang tersebar diantara rumah penduduk, terdapat satu unit pasar yang hanya beroperasi pada hari sabtu sore sampai malam minggu.
Beruntung saya bisa menyaksikan hiruk pikuk “pusat perbelanjaan” ala desa tersebut. Sejak sore masyarakat tua dan muda berbondong-bondong menuju pasar. Seperti halnya masyarakat kota yang harus ‘gaya’ menuju mal, masyarakat disana terutama anak-anak remaja juga ‘bergaya’ menuju pasar. Jenis barang yang dijual mulai dari sayur mayur, peralatan rumah tangga, baju, mainan anak-anak dan juga makanan. Ibu-ibu biasa berbelanja untuk stok satu minggu. Selain penduduk Baun Bango, pasar juga dipenuhi oleh para pekerja pabrik sawit yang berada di sekitar Baun Bango. 




Suasana pasar malam mingguan di Desa Baon Bango


Terdapat satu penginapan dengan fasilitas yang sangat sederhana tetapi sangat bersih. Penginapan dua lantai ini menyediakan satu kamar besar di bawah dan 4 kamar di atas, ruang tamu dan ruang makan. Terdapat beranda yang menghadap ke Sungai Katingan. Seperti umumnya kebanyakan rumah penduduk, penginapan ini berbentuk rumah panggung. Walaupun sebagian besar rumah di Desa Baun Bango tidak memiliki MCK (penduduk memanfaatkan sungai untuk aktivitas ini), tetapi penginapan telah  menyediakan dua unit MCK.  


Penginapan di Desa Baun Bango
 
Pak Hadi, pemilik penginapan berpose di beranda depan penginapan
 
Sungai sebagai tempat Mandi, Cuci dan Kakus

Jumlah penduduk Baun Bango pada tahun 2013 yaitu 875 jiwa. Agama yang dianut penduduk yaitu islam, kristen dan hindu kaharingan. Mereka hidup harmonis berdampingan dan bebas beribadah di tempat ibadah masing-masing. Terdapat gereja, masjid dan balai basarah sebagai fasilitas ibadah. Berdasarkan data dalam Profil Kecamatan Kamipang Tahun 2013, agama kedua terbesar setelah Islam adalah Hindu Kaharingan. Jumlah penganut Hindu Kaharingan sekitar 157 orang. Kebetulan saya berkesempatan bersilaturahmi ke rumah Pak Jojon, seorang tokoh Hindu Kaharingan.
Rumah Pak Jojon, berbentuk rumah panggung seperti umumnya rumah penduduk Baun Bango. Hanya, rumah tersebut lebih tinggi dari rumah-rumah lainnya. Tingginya sekitar 2 meter. Material dinding terbuat dari kayu, begitu pula dengan lantai-nya. Hanya atap-nya saja sudah memakai material modern, yaitu seng, sudah tidak menggunakan atap rumbia. Terdapat beranda sebelum memasuki rumah. Ruang tamu berfungsi ganda sebagai ruang keluarga. Ini merupakan ruang terluas dibandingkan dengan ruang lainnya. Ruang tamu yang begitu luas tersebut, memiliki makna keterbukaan dan kebersamaan, sesuai karakter orang Dayak. Di bagian tengah merupakan ruang kamar tidur yang dibuat bersekat-sekat. Dapur merupakan ruangan paling belakang. Yang menarik, Pak Jojon memperlihatkan senjata-senjata khas Dayak seperti mandau dan sumpit. Selain itu, Pak Jojon juga mengeluarkan pakaian yang biasa digunakan dalam upacara adat. 

 
pakaian yang biasa digunakan dalam acara adat

mandau, tombak dan sumpit, senjata suku Dayak

Pak Jojon, seorang tokoh hindu Kaharingan

 
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Baun Bango adalah nelayan. Mereka biasa mencari ikan di sungai dan di danau-danau yang berada di sekitar sungai. Karena sungai merupakan bagian dari kehidupan, tidak pernah penduduk menggunakan bahan peledak untuk mendapatkan ikan. Mereka mencari ikan dengan cara yang sangat tradisional, memancing ikan dengan menggunakan perahu. Beberapa penduduk membudidayakan ikan menggunakan keramba di sungai. Uniknya, penduduk juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Jaring tersebut disimpan di sungai atau di danau-danau. 





Teknik-teknik memancing ikan tradisional

Sepanjang saya berkeliling di Desa Baun Bango, saya menemukan dua buah danau. Satu danau kecil yang berada di belakang permukiman penduduk, dan satu lagi Danau Jalanpangen yang dapat ditempuh sekitar 10 menit menggunakan speed boat dari pusat Desa Baun Bango. Menuju danau ini,  terlebih dahulu menelusuri sungai kecil, dengan pohon mangrove di sisi kanan kirinya. Airnya begitu jernih, sehingga ketika kita melihat ke bawah, seperti melihat cermin.  Selepas melewati sungai ini, pemandangan indah terhampar di depan mata, danau yang begitu luas dengan beberapa rimbun pohon di tengahnya, seperti membentuk pulau-pulau. Danau inilah yang berfungsi sebagai sumber mata pencaharian penduduk. Mereka memasang jaring dan mendirikan rumah terapung di atas danau. Rumah terapung dibangun diatas rakit dan dapat dipindahkan. Rumah tersebut berfungsi sebagai rumah singgah sementara, ketika para nelayan menunggu ikan terjaring perangkap yang mereka buat. 
Keindahan yang disuguhkan Danau Jalanpangen, Sungai Katingan dan sungai-sungai kecil di sekitarnya, sebetulnya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata alam yang terintegrasi dengan Taman Nasional Sebangau. Selain itu, kehidupan harmoni masyarakat Desa Baun Bango  dapat menjadi nilai tambah untuk pengembangan wisata alam di Desa Baun Bango.






Lukisan alam yang sangat menakjubkan di Danau Jalanpangen



Wednesday, April 2, 2014

tentang kopi

kopi...
dulu jenis minuman itu haram masuk perut saya, karena pasti akan membuat lambung bergejolak. Bukan hanya merasa perut tidak nyaman, tetapi akan membuat saya muntah...ya, ini disebabkan saya memang mengidap maag yang hampir akut. Efek samping yang paling parah yang pernah saya rasakan adalah jantung berdebar-debar sampai tidak bisa tidur semalaman. Itu terjadi ketika saya penasaran ingin mencicipi kopi aceh. Secara, ketika tinggal di Banda Aceh, warung kopi adalah tempat saya ber-social life...Masa datang ke warung kopi, pesanan saya teh botol? hahaha..

Reaksi tubuh saya terhadap kopi tersebut, membuat saya sangat anti terhadap kopi. Tetapi, social life  di warung kopi tetap saya jalani. Tetap, saya hanya mampu minum teh, baik itu teh botol, es teh, lemon tea atau teh susu.
Setelah tugas saya di banda aceh berakhir, saya kembali ke tanah Jawa. Social life di warung kopi tidak saya temukan lagi di Bandung dan Jakarta, disini lebih terkenal dengan cafe. Kemudian, ngafe bagi saya adalah minum coklat atau teh dengan berbagai varian-nya. Karena saya merasa, badan saya belum sanggup untuk minum kopi.

Saya lupa persisnya sejak kapan, kemudian saya mulai minum kopi. Yang saya ingat pasti adalah karena suatu tugas, saya kembali ke kota Banda Aceh. Di suatu warung kopi, saya memesan sanger. Sanger adalah varian  minuman kopi di Aceh, kopi susu dengan campuran susu hanya 1/3-nya dibanding kopi. Motif saya memesan sanger, karena penasaran saja, dan masa sih saya datang ke Aceh tidak mencicipi kopi-nya yang sangat terkenal itu. Dan ajaib, reaksi lambung saya baik-baik saja ..:)

Selanjutnya, uji nyali berikutnya ketika saya berkunjung ke Palembang. Sebelumnya saya pernah melihat tayangan di sebuah televisi tentang kopi pagar alam yang terkenal ni'mat juga rasanya. Lagi-lagi saya penasaran, dan ketika ke Palembang saya cari warung kopi yang menyajikan kopi itu.Beruntung saya berhasil menemukannya, dan memang rasanya sangat ni'mat dan ajaib juga, tidak ada reaksi apapun dengan lambung saya.

Minum kopi , kemudian menjadi agenda saya kalau mengunjungi suatu kota dengan produk kopi terkenal. Tetapi, ternyata tidak semua kota yang terkenal kopi-nya terdapat warung kopi tradisional seperti di Aceh. Ini saya temukan di Kota Bandar Lampung. Saya meminta tolong kepada sopir mencari warung kopi yang khusus menyajikan kopi lampung, putar-putar ke sekeliling kota, tidak saya temukan yang saya mau.

Kemudian, ketika ngafe pilihan saya tidak hanya coklat atau teh, saya sudah berani untuk pesan latte, mocachino, atau capucino. Tetapi, saya membatasi diri bahwa ngopi hanya sebatas ketika ber-social life. Tidak membiasakan diri dengan menyimpan stok di rumah atau ngopi ketika di kantor.

Hal lain tentang kopi, bagi saya kopi adalah aceh. Karena social life di warung kopi adalah ketika saya tinggal di banda aceh. Dan saat ini, setelah saya tidak tinggal di Aceh, social life saya di Jakarta dan Bandung adalah bersama teman-teman yang saya kenal di aceh dan pernah bercengkerama di warung kopi. Dan makna yang terpenting lainnya adalah, saya pernah jatuh cinta di warung kopi....persis seperti lagu Landon Pigg, falling in love at a coffee shop..:)