Wednesday, October 28, 2015

aceh yang melibatkan perasaan

Sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kali menginjakan kaki di Aceh, saya pernah berkata, sepuluh tahun yang akan datang saya ingin kembali kesini. Alhamdulillah Allah mengabulkan keinginan saya.
Aceh pernah menjadi suatu episode yang terbaik dalam kehidupan saya, sehingga perasaan begitu emosional ketika bisa kembali kesini. Menyusuri beberapa sudut Kota Banda Aceh, menuntun ingatan ini kembali ke belakang. Mengingat pernah jadi bagian dari rehab rekon aceh, mengingat pernah jadi bagian dari kehidupan kota ini, dan mengingat saya pernah terlibat perasaan yang begitu mendalam disini.
Ada beberapa tempat yang sengaja saya kunjungi maupun yang tidak sengaja, dan saya seperti dilemparkan pada kenangan yang telah melibatkan perasan.
Kota Banda Aceh setelah kurun waktu sepuluh tahun itu, memang sudah sangat berubah. Tetapi kenangan yang sudah pernah terjadi pada diri saya tidak akan pernah berubah. Aahh Banda Aceh, kota ini memang terlalu kecil bagi seseorang yang pernah patah hati. Saya tidak tahu kapan bisa kembali ke kota ini, hanya Tuhan yang bisa menjawab kapan kaki ini bisa kembali kesini.
Seperti kehendak Nya lah saya diijinkan untuk bertemu dengan seorang yang pernah begitu berarti dalam hidup saya. Walaupun kehendak Tuhan jualah kami tidak untuk bersama, tapi terima kasih Tuhan, hari ini saya begitu bahagia ..

(Banda Aceh,28 oktober 2015.Nulis d bandara sambil nunggu flight yang tertunda sambil nangis... :D)

Wednesday, March 4, 2015

Perjalanan Menuju Kampung Suku Sawai - Weda- Halmahera Tengah



Perjalanan menuju ke perkampungan Sawai di Pulau Halmahera – Maluku Utara,  mungkin menjadi perjalanan ter-ekstrim dalam hidup saya. Padahal perjalanan ini, tidak ada apa-apa-nya dibandingkan dengan cerita para petualang yang menjelajah rimba, mendaki gunung maupun mengarungi samudera. Kampung Sawai bukan merupakan lokasi terisiolir, ada akses menuju kesana. Tetapi kualitas dari akses serta pengabaian keselamatan manusia mungkin yang menjadikan perjalanan ini yang saya sebut cukup ekstrim.

Sebelum menuju Kampung Sawai, terlebih dahulu kita tiba di Bandara Sultan Babullah Ternate setelah menempuh perjalanan 3 jam dari Jakarta. Kemudian, kita harus menyeberangi dahulu Selat Halmahera menuju Ke Kota Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara. Perjalanan Ternate – Sofifi dapat menggunakan speed boat dengan waktu tempuh 45 menit atau menggunakan kapal Ferry yang waktu tempuhnya lebih lama. Pemandangan sepanjang penyeberangan menuju sofifi sungguh mengagumkan. Setelah beberapa saat menjauh dari Pelabuhan Ternate, kita akan liat betapa Pulau Ternate begitu indah dengan Gunung Gamalama yang menjulang anggun dan awan yang berada di puncaknya seperti memberikan kesan asap mengepul.  Bukan hanya itu, di sekeliling disuguhi gugusan pulau-pulau kecil yang salah satunya adalah Pulau Tidore.
Tiba di Kota Sofifi, perjalanan kemudian dilanjutkan melalui darat menuju Kota Weda, Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah. Perjalanan ditempuh sekitar 3 jam. Jalan yang dilalui cukup mulus. Kebetulan pada saat menuju Kota Weda, waktu hampir menuju sore. Dan disini kami disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan, seperti berada di negeri di atas awan. Ya, hutan tropis yang diselimuti kabut. 

Setelah menembus hutan, tibalah di sebuah kota kecil bernama Weda. Weda merupakan kota kecil di tengah hutan yang berada di perairan halmahera yang tenang. Kami menginap di sebuah penginapan yang dekat dengan Pelabuhan Weda. Hal yang tak akan kami lupakan selama bermalam di Kota Weda yaitu kota ini sangat sering mati lampu, beruntung penginapan menyediakan mesin genset, walaupun hanya mampu untuk penerangan, tidak mampu untuk mengoperasikan mesin air. 

Sudah menjadi hal yang wajib bagi saya apabila mengunjungi suatu daerah adalah mencicipi makanan khas-nya. Tapi seorang teman menganjurkan saya untuk tidak makan pepeda karena saya pasti  tidak akan suka. Setelah dia mendeskrispikan pepeda itu seperti apa, saya memang tidak berniat untuk mencicipi-nya. Karena terletak di pesisir pantai, pasti sajian utama adalah ikan laut yang segar. Menu makan siang dan makan malam, sajian-nya sop ikan bumbu kuning atau ikan bakar atau goreng ditambah sambal dan lalapan. Yang menarik adalah menu sarapan yang mungkin hanya ditemui di wilayah ini. Nasi kuning dengan lauk tumis ikan cakalang, mie goreng dan tumis potongan ubi. Enak sekali...

Setelah mengunjungi kantor pemerintahan dan wawancara dengan tokoh masyarakat di Weda terkait penelitian yang kami lakukan, sore hari kami sempatkan untuk berkeliling sekitar Kota Weda. Tujuan utama adalah Danau Nusliko, yang jaraknya hanya sekitar 1 Km dari pusat Kota Weda. Danau/telaga Nusliko tidak seperti halnya danau pada umumnya yang berair tawar, danau ini airnya asin. Mungkin dikarenakan danau ini langsung terhubung dengan lautan yaitu Selat Weda. 

Telaga Nusliko

Setelah puas berfoto-foto, jalan-jalan sore kami lanjutkan ke Pelabuhan Weda. Letak pelabuhan ini tidak jauh dari pusat keramaian Kota Weda, bahkan dari hotel tempat kami menginap tinggal jalan kaki saja. Pelabuhan Weda termasuk kelas Pelabuhan Perintis. Tiba disana, kami menyaksikan pemandangan yang cukup menyenangkan. Anak-anak sedang bermain di sekitar kapal besar yang sedang bersandar. Mereka tampak begitu bahagia, bergelantungan, terjun dan byuuur berenang. Mereka begitu antusias ketika saya memotret mereka. Sementara itu, nun jauh di tengah laut, nampak suatu pulau yang sangat cantik. Pulau Imam demikian namanya. Pulau itu merupakan tempat peristirahatan terakhir para imam Kota Weda yang telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya Kota Weda. Sore itu merupakan salah satu sore yang terindah di bagian timur Indonesia, walaupun cuaca saat itu mendung sehingga tidak tampak lembayung di atas langit, tapi jernihnya air laut Teluk Weda dan suara riang anak-anak pulau menjadikan sore itu suatu sore yang sangat menyenangkan.

wahana bermain anak-anak pulau


anak-anak gadis pun bermain di atas laut

Foto Kami kakaaa.....


Pulau Imam tempat persemayaman terakhir para Imam Kota Weda

Ke esok harinya perjalanan kami lanjutkan menuju Kampung Sawai. Sawai merupakan salah satu suku yang berada di Halmahera Tengah. Selain merupakan suatu suku, Sawai juga merupakan suatu bahasa. Bahasa Sawai dipergunakan lebih dari 12.000 penduduk di Halmahera Tengah.
Perjalanan menuju Kampung Sawai dari Kota Weda ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam. Beberapa lokasi menarik saya jumpai begitu pula dengan lokasi yang menyeramkan. Yang menarik adalah kami menemukan suatu resort yang cukup exclusive dan memiliki private beach. Sebelumnya saya memang sempat googling penginapan di Weda dan menemukan nama Weda Resort. Berbekal penasaran dan pura-pura ingin menanyakan rate, saya sempat masuk ke kawasan resort ini. Tempat yang  cukup menarik untuk berbulan madu dan menenangkan diri. 

Weda Resort
Pemandangan dari depan Weda Resort
 
Lokasi yang menyeramkan menurut saya adalah medan menuju Kampung Sawai. Kurang dari 10 Km jalan dari Kota Weda masih mulus. Tetapi setelah itu, jalan dalam kondisi rusak. Beberapa Km menjelang memasuki Kampung Sawai, terdapat belokan dan tanjakan dengan jurang menganga di kanan kiri jalan. Haduh, spot jantung kami dibuatnya. Ruas jalan itu bernama “Bukit Melarat”. 
Perkampungan Sawai Lelilef dan Woi Bulan
 
Setelah melewati kampung bernama Kobe, sampailah kami di Kampung Sawai. Kampung Sawai ini terbagi menjadi dua. Sawai Lelilef dan Sawai Woi Bulan. Sawai Lelilef diperuntukan untuk warga yang beragama Nasrani dan Sawai Woi Bulan untuk permukiman muslim. Tidak ada pembeda batas tegas dari kedua desa ini, seperti gapura atau semacamnya. Hanya ada tugu batas desa. Yang menjadi pembeda, terdapat gereja di Sawai Lelilef  dan masjid di Sawai Woi Bulan. Terdapat satu pasar  di dekat kedua batas desa ini. Pasar nya cukup bersih. Menyediakan berbagai jenis sayur mayur, barang-barang pokok dan barang-barang kebutuhan lainnya.
Pasar yang cukup bersih


Penyajian yang cukup menarik

Berada di desa terpencil di Pulau Halmahera, terkejut kami menemukan sebuah penginapan. Penginapan ini sangat kecil dan hanya terdapat 3 kamar. Penginapan ini berada di lantai atas rumah pemiliknya. Untuk keperluan makan, pemilik penginapan menunjukan kami sebuah warung yang akan menyediakan kami makan dengan menu by request. Tentang makan ini, ada satu kekecewaan kami. Berada di pinggir laut, tidak salah kami meminta untuk disediakan ikan. Tetapi pemilik warung mengatakan tidak bisa menjanjikan. Untuk mendapatkan ikan harus membeli ke Weda!  Atau dari pemuda dan anak-anak yang iseng memancing ikan dari pinggiran dermaga. Ternyata sangat sulit mencari ikan karena sudah jarang sekali yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar masyarakat di Kampung Sawai kini bekerja di pertambangan nikel yang mengelilingi wilayah ini. 

Memancing iseng untuk mendapatkan ikan

Penginapan tempat kami menginap, tidak jauh dari sebuah dermaga. Malam hari, kami berjalan menuju dermaga itu. Pemandangan takjub kami temukan yang sangat jarang sekali ditemui di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Pemandangan itu adalah ribuan bintang berpedaran di langit Sawai. Tetapi sayang sekali, lensa kamera saya tidak cukup mumpuni untuk merekam anugerah Illahi tersebut. Tentang kamera, ada satu hal yang cukup saya sesali seumur hidup saya. Saya tidak tidak tahu kalau di kampung ini listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Saya lupa mengisi batere kamera! Alhasil, kegiatan memotret saya tidak terlalu maksimal.
Setelah dua hari mengelilingi Kampung Sawai dan berbincang-bincang dengan warga dan tokoh masyarakat, dan setelah data dan informasi yang kami kumpulkan dirasa cukup, sebelum menjelang sore kami memutuskan untuk kembali ke Weda. Pada saat berpamitan dengan salah seorang tokoh masyarakat disana, beliau berpesan kepada kami untuk berhati-hati ketika melewati ‘bukit melarat”. 

Perjalanan menuju Weda dari Kampung Sawai memang lebih berat dibandingkan ketika menuju Sawai dari Weda. Ini dikarenakan ketika perjalanan pergi, medan cenderung menurun, dan sebaliknya ketika pulang, medan menanjak. Untuk keseimbangan beban kendaraan, sopir kemudian mengatur tempat duduk kami. Tapi tetap saja tidak cukup mampu ketika harus melewati tanjakan yang sekaligus belokan. Demi keamanan, penumpang semua turun. Berada di dalam mobil dan berjalan kaki saat di tengah jurang hutan belantara, sama saja seram menurut saya. Menurut kabar dari tetua dia Kampung Sawai,  disitu banyak ular. 

Inilah bukit melarat yang menyeramkan itu

Menyempatkan berpose di tengah ekstrim-nya perjalanan
Perjalanan yang cukup ekstrim sepanjang tugas saya di Halmehera Tengah itu, ternyata belum selesai. Pada saat pulang menuju Ternate saya mengalami kejadian yang membuat saya hanya bisa pasrah pada kuasa Tuhan. Menggunakan speed boat bermesin dua kami menuju Ternate dari Sofifi. Saat itu cuaca memang mendung, tetapi air laut relatif tenang. Di tengah laut, tiba-tiba hujan disertai angin yang membuat ombak menjadi tinggi. Boat kami terguncang keras ke kanan dan ke kiri. Di saat nakhoda  berusaha mengendalikan boat agar tetap seimbang, tiba-tiba salah satu mesin mati. Haduh, saya langsung panik, dan mencari pelampung.. dan ternyata kapal ini tidak menyediakan satu pun pelampung.! Haduuh, disitu saya hanya bisa berdoa mohon pertolongan Tuhan dan pasrah. Para awak kapal berusaha menghidupkan mesin yang mati, tetapi tetap tidak bisa. Untung saja hujan mulai reda, dan air laut mulai tenang. Di kejauhan Kota Ternate sudah mulai tampak. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai dengan selamat.
Sungguh merupakan suatu pengalaman ter-ekstrim dalam hidup saya. Perjalanan saya ke Halmahera ini, sungguh-sungguh memperlihatkan betapa buruknya sistem transportasi di Indonesia. Transportasi laut begitu mengabaikan keselamatan  penumpang. Kondisi transportasi darat pun demikian, banyak jalan rusak mengancam keselamatan. Maka ni’mat Tuhan manakah yang kamu dustakan, ketika garis tangan ini menjadikan saya sebagai warga Kota Bandung yang aksesibel. Jalan hotmix yang berlubang tidak sebanding dengan puluhan bahkan ratusan kilometer jalan yang rusak di Halmahera sana. Alhamdulillah :D

Monday, January 26, 2015

Belajar dari sistem pertanian di Desa Tuwed - Jembrana - Bali : subak, multikultur dan dukungan pemerintah.



Mendapat tugas ke Bali, siapa saja tentu akan senang. Sudah membayangkan dari awal, saya akan maaiiin, haha. Tugas saya ini berkaitan dengan program pengembangan kawasan perdesaan berkelanjutan dari Kementerian Pekerjaan Umum. Kawasan perdesaan berkelanjutan... hhmm kemudian yang terbayang adalah Ubud dengan persawahan nya yang berundak-undak atau terasering. Tetapi ternyata, wilayah yang menjadi tugas kami yaitu Kabupaten Jembrana, bukan Ubud yang terletak di Kabupaten Gianyar. Langsung saya buka google earth untuk mencari tau dimana letak Kabupaten Jembrana. Ternyata, Kabupaten Jembrana terletak di Bali Barat, kurang lebih  3 jam dari Bandara Ngurah Rai – Kuta.  Pelabuhan penyeberangan Gilimanuk berada di kabupaten ini.
Masih penasaran dengan Kabupaten Jembrana, karena pernah merasa mendengar nama kabupaten ini yang terkait dengan good governance. Ternyata betul dugaan saya. Kabupaten Jembrana tercacat sebagai kabupaten yang menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kabupaten Jembrana dinilai telah berhasil melakukan reformasi birokrasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Jumlah rumah tangga miskin berkurang 44%, tingkat kematian bayi berkurang 45%.  Bidang pendidikan, yaitu membebaskan SPP dari jenjang SD sampai SMA serta pemberian beasiswa bagi siswa sekolah swasta. Kebijakan ini menurunkan 75% angka tingkat putus sekolah. Dahulu Kabupaten Jembrana adalah kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terkecil se-provinsi Bali. Pada tahun 2000, PAD Jembrana hanya sekitar 2,5 M. Dibawah kepemimpinan Prof. I.Gede Winasa, pada tahun 2002 PAD meningkat menjadi 11,5 M. Di akhir jabatan bupati Winasa pada tahun 2010, PAD Jembrana mencapai 41,9 M. Ketika pemerintahan Jokowi gembar-gembor tentang kartu pintar, Bupati Winasa telah melakukan ini di Kabupaten Jembrana, yaitu J-Smart atau Jembrana Smart Card. Kartu ini multi fungsi sebagai kartu identitas dan kartu berobat.
Angka- angka diatas, memang tampak jelas dari penampakan fisik Kabupaten Jembrana. Berada di jalur jalan nasional Gilimanuk – Denpasar, persoalan infrastruktur darat tidak menjadi kendala bagi Kabupaten Jembrana. Jalan raya mulus beraspal hotmik. Sepanjang saya melewati beberapa jalan desa, jalanan beraspal mulus dengan lebar sekitar 3-4 meter. Dan sepanjang pengamatan saya di beberapa desa, rumah penduduk berjejer rapi dengan konstruksi permanen. Memang terdapat beberapa rumah yang masih temporer dan semi permanen, tapi itu tidak mengurangi estetika lingkungan secara keseluruhan.
Ada satu desa yang menurut saya sangat indah. Ini saya temui ketika saya akan mengunjungi Bendungan Palasari. Desa Ekasari namanya. Tingkat ekonomi warga yang lumayan baik tercermin dari bangunan rumahnya yang tampak kokoh dan halaman yang luas. Di tengah desa, terdapat bangunan besar berarsitektur Bali, dan terdapat patung bunda maria di tengah-tengahnya. Ternyata itu adalah gereja katolik yang didirikan pada tahun 1940. Walaupun usianya sudah tua, tetapi gereja ini kondisinya masih baik.
Gereja Katolik tersebut juga terkenal dengan nama gereja Palasari, karena letaknya di dusun Palasari. Di dusun ini pula terdapat bendungan Palasari yang mulai dibangun pada tahun 1986 dan selesai pada tahun 1989. Bendungan ini memiliki wilayah cakupan irigasi seluas 1.300 Ha. Salah satunya adalah kawasan pertanian yang berada di Desa Tuwed Kecamatan Melaya. Desa Tuwed inilah yang menjadi fokus tugas kami.

Bendungan Palasari

Karena sejak awal sudah membayangkan persawahan yang  berundak-undak, memasuki Desa Tuwed pun saya masih berharap demikian. Tapi ternyata tidak, karena wilayah nya relatif datar dan berbatasan langsung dengan samudera hindia. Kebetulan pada saat datang ke Tuwed, bukan musim tanam padi. Sawah dapat ditanami padi hanya satu kali. Hal ini dikarenakan air yang mengalir dari bendungan Palasari tidak mencukupi untuk mengairi sawah dan terkait kondisi saluran irigasi tersier yang masih alami. Karena sawah hanya dapat ditanami padi satu kali saja. Tanaman palawija dan holtikultura kemudian menjadi jenis tanaman yang ditanam ketika sawah tidak ditanami padi
Yang menarik dari sistem pertanian di Tuwed khususnya dan di Bali umumnya adalah adanya tata pengaturan air yang disebut Subak. Subak berfungsi mengatur pembagian air bagi para anggotanya agar masing-masing memperoleh air dengan seadil-adilnya dan bertujuan mensejahterakan anggotanya. Asas kerja Subak berdasarkan keadilan: setiap warga desa bertugas mengatur pembagian air, memelihara dan memperbaiki saluran air, melakukan pemberantasan hama, melakukan inovasi pertanian dan mengaktifkan kegiatan upacara keagamaaan. 
Selain merupakan suatu sistem, subak juga merupakan suatu komunitas. Subak Puspasari adalah salah satu kelompok petani pengelola air di Desa Tuwed.  Untuk melakukan musyawarah, Subak memiliki tempat yang bernama Balai Subak. di Balai Subak ini pula terdapat Pura yang dinamakan Pura Ulin Suwi. Subak sendiri memiliki pura yang khusus dibangun oleh petani diperuntukan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri, yaitu: 1) Pura Ulan Danu yang terletak di hulu sumber air; 2) Pura Ulun Suwi yang terletak di Balai Subak.

 
Pura Ulun Suwi di Balai Subak Puspasari

Balai Subak sebagai tempat bermusyawarah


Pada saat mengunjungi Subak Puspasari, saya terkagum-kagum dengan sistem dan kebersamaan yang mereka miliki. Subak Puspasari memiliki luas 100 Ha dengan jumlah anggota 127 orang. Sesuai dengan prinsip Subak membagi air secara rata dan adil, Subak Puspasari pun harus menganut prinsip itu.. Untuk berjalan nya sistem yang baik, Subak memiliki awig-awig atau peraturan yang memiliki sangsi. Salah satu peraturannya adalah tidak menanam padi pada saat bukan musim padi. Apabila melanggar, petani tersebut dikenai denda. Uang denda inilah yang menjadi salah satu sumber pemasukan Subak untuk menjalankan organisasi. Selain dari denda, sumber pemasukan lainnya berasal iuran rutin para anggota, iuran pangkal anggota baru, bantuan pemerintah dan hasil usaha dari Subak. 
Yang membuat kekaguman saya selain pada sistem organisasi, juga pada sistem pertanian yang mereka terapkan. Karena keterbatasan infrastruktur pengairan yang menjadi penyebab menanam padi hanya satu kali, mereka menerapkan sistem pertanian multikultur, yaitu tidak hanya menanam satu jenis tanaman. Tanaman tersebut selain padi yaitu menanam kacang panjang, jagung, kedelai, cabe, melon dan semangka. Melon dan semangka saat ini menjadi primadona disana dan telah di ekspor ke Pulau Jawa. Pulau Jawa  selain menjadi wilayah pasar bagi hasi pertanian mereka, Pulau Jawa juga merupakan tempat mereka untuk belajar akan inovasi. Penanaman melon dan semangka adalah hasil belajar mereka dari Pulau Jawa. Para petani diberi penyuluhan dan belajar langsung ke lapangan. 





 
Tanaman Cabe
 
Tanaman Kacang Panjang
Aktifnya para penyuluh untuk memberikan bimbingan kepada para petani, mungkin menjadi salah satu warisan dari reformasi birokrasi oleh Pak Winasa atau memang sudah berjalan dari dulu,  saya tidak tau. Tetapi yang jelas nyata adalah pemerintah menempatkan 3 orang penyuluh di Subak Puspasari. Penyuluh ini selain memberikan bimbingan teknis secara rutin juga menyelenggarakan sekolah lapangan. Hasilnya adalah selain para petani telah menerapkan sistem multikultur, pemakaian pupuk organik pun telah mulai digunakan oleh para petani. 
Siapapun akan setuju dengan pendapat saya, bahwa masyarakat Bali begitu menjaga adat istiadat yang begitu adiluhung. Subak adalah salah satu warisan budaya yang bahkan telah diakui sebagai warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO tahun 2012. Selain itu, warisan yang masih dipegang oleh masyarakat di Desa Tuwed adalah keberadaan lumbung padi untuk menyimpan stok gabah untuk ketahanan pangan. Beberapa rumah masih memiliki lumbung padi, walaupun sudah ada sentuhan modern. Atap rumbia digantikan dengan seng. 
Lumbung padi gaya modern dan gaya lama

Ketika membuat analisis kondisi pertanian di Subak Puspasari, dengan yakin saya katakan bahwa pertanian di Subak Puspasari  cukup memiliki daya saing. Terdapat  lima parameter untuk analisis daya saing ekonomi, yaitu : (1) kondisi ekonomi; (2) Kualitas Sumber Daya Manusia; (3) Lingkungan usaha kondusif;(4) Infrastruktur dan Sumber Daya Air; (5) Dukungan kelembagaan keuangan. Produktivitas pertanian mencapai 8 -10 ton/ha, lebih tinggi dari rata-rata produksi nasional yang hanya mencapai 5,1 ton/Ha. Sumber daya manusia para petani dapat dikatakan cukup berkualitas, karena mendapat pelatihan kontinyu dari para penyuluh. Lingkungan usaha cukup kondusif dengan adanya dukungan belanja publik dari pemerintah yaitu adanya bantuan bibit dan pupuk serta alat-alat pertanian. Karena terletak tidak terlalu jauh dari jalan nasional, akses menuju Desa Tuwed serta prasarana pengangkutan hasil-hasil pertanian dapat dikatakan cukup baik. Infrastruktur pengairan dan ketersediaan air yang terbatas saja yang menjadi kendala. Kelembagaan keuangan cukup baik, selain telah ada lembaga perbankan dan lembaga perkreditan untuk petani, juga terdapat koperasi, salah satunya adalah koperasi Puspasari milik Subak Puspasari. Walaupun modal koperasi masih kecil sehingga belum mampu untuk membeli hasil-hasil pertanian  tetapi setidaknya inisiasi untuk kearah sana telah terbentuk. 
Inisiasi lainnya yang lagi-lagi membuat saya kagum adalah di Desa Tuwed terdapat kelompok petani mangrove bernama Lindu Segara Tanjung Pasir yang telah melakukan rehabilitasi mangrove. Inisiasi ini bermula dari bencana banjir rob yang kerap melanda pesisir Desa Tuwed. Rob ini bahkan telah menggenangi sawah sehingga mengancam ketahanan pangan. Kelompok ini kemudian melakukan penanaman sebanyak 50 ribu bibit diatas lahan seluas 44 Ha.  Sungguh suatu bentuk partisipasi masyarakat yang cukup berhasil menurut saya. 
Hutan Mangrove

Masyarakat Desa Tuwed, ke depannya memiliki impian bahwa hutan mangrove ini selain sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan juga menjadi lokasi obyek wisata. Wisata ini diharapkan  akan terintegrasi dengan tradisi balap makepung. Makepung merupakan tradisi balapan kerbau dan hanya ada di Kabupaten Jembrana. Salah satu lapangan untuk balap makepung terdapat di Desa Tuwed. Event makepung menjadi salah satu andalan atraksi wisata di Kabupaten Jembrana. 
Sirkuit Makepung
 Sistem pertanian yang telah berjalan dengan baik, memang belum dapat meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan. Tapi menurut saya hal ini wajar, karena permasalahan kesejahteraan petani merupakan masalah nasional. Pertanian di Indonesia sangat lemah dalam pemasaran karena harga yang dipatok rendah serta masih adanya sistem ijon. Selain itu penggunaan alat-alat pertanian juga masih teknologi low-end. Harga bibit unggul dan pupuk masih sangat mahal. Kita juga masih sangat lemah dalam pengemasan pada produk akhir. Tidak ada standarisasi untuk kualitas karung dan lumbung padi (misalnya pencahayaan) .Hal ini sebenarnya akan berpengaruh pada kualitas dari beras.
Tetapi setidaknya, apa yang saya ceritakan tentang pertanian di Subak Puspasari diatas setidaknya akan menimbulkan suatu ke optimisan. Infrastruktur yang baik, organisasi yang baik, SDM yang berkualitas serta dukungan penuh dari pemerintah sebagai regulator akan menyelamatkan kondisi pertanian Indonesia. Semoga.