Thursday, March 3, 2016

Sota Merauke Papua : Cerita Perjalanan di Perbatasan Negara Indonesia bagian Timur



Papua...akhirnya menginjakan kaki juga disini...wish list tahun kemarin tercapai.. Alhamdulillah... Merauke …  walaupun tanpa pernah tahu dimana letak kota ini, semua orang Indonesia pasti pernah mengucap nya atau minimal mendengar..
Sebelum sampai di Merauke, pesawat yang membawa kami transit terlebih dahulu di  Bandara Sentani, Jayapura...Yaiyy begitu excited nya saya...dan Alhamdulillah penumpang transit diharuskan turun..  Akhirnya kaki ini menginjakan kaki di tanah Papua!!! dan begitu keluar bandara, disuguhi pemandangan hijau nya perbukitan yang sungguh menyejukan mata. (karena dari jakarta malam dan minum antimo, selama di perjalanan saya tertidur pulas, sehingga ketika menjelang landing, tidak dapat melihat pemandangan sekitar).
Lagi-lagi karena effect antimo ketika melanjutkan penerbangan ke Merauke, saya tertidur pulas. jadi, ketika menjelang landing, kembali saya tidak dapat menikmati pemandangan Merauke dari udara.

Pertama kali mata ini memandang Kota Merauke di Bandara Mopah, sudah terbayang bahwa kota ini hanya kota yang kecil dan sebanding dengan desa di pedalaman kalau di Pulau Jawa. Kesan itu masih tertanam dalam benak saya ketika kami menuju pusat kota untuk mencari sarapan. Ketika beranjak menuju pusat pemerintahan, sedikit demi sedikit wajah kota ini semakin terkuak..Pembangunan kawasan terbangun ternyata telah cukup pesat , dan jujur saya belum merasakan ini di Papua..
Hal Ini disebabkan... beberapa tahun ke belakang, saya pernah mengerjakan suatu pekerjaan di Kabupaten Tambrauw Papua Barat. Kolega saya, tidak menganjurkan saya untuk ikut survey.  Menurutnya akses darat menuju Tambrauw dari Sorong sangat berat. Ketika mengerjakan pekerjaaan itu, saya melihat beberapa video. Hal ini memberikan gambaran di benak saya,  Papua itu hutan belantara dan jaringan jalan masih berupa tanah liat.

Feel Papua belum saya rasakan, mungkin dikarenakan Merauke adalah wilayah pesisir yang cenderung datar. Kota ini telah cukup terbuka, karena ada akses laut dan udara serta dilalui jalan Trans Papua. Masyarakat yang berada disini cukup beragam dari berbagai etnik. Selain suku asli Papua, banyak terdapat suku Bugis, Jawa dan Madura. Satu hal yang kenapa saya belum merasakan feel itu, karena tidak satupun saya menemukan suku asli yang hanya memakai cawat dan koteka, : D

Feel Papua itu akhirnya saya dapatkan ketika menuju Distrik sota, wilayah perbatasan dengan Papua Nugini. Kota Merauke - Sota ditempuh dalam waktu 1,5 jam melalui jaringan jalan darat Trans Papua. Jalan ini melalui Taman Nasional Wasur. Sepanjang mata memandang hanya tampak jalan lurus dengan volume kendaraan sangat jarang dan kanan kiri adalah pepohonan.  

Jalan Trans Papua Merauke - Boven Digul
 
 Suatu hal yang hanya mungkin ada di Merauke ini adalah terdapat 'sarang semut'. Sebetulnya ini adalah rayap yang membuat 'bangunan' sampai menjulang tinggi. Sepanjang jalan menuju Sota, banyak sekali ditemui sarang semut. 
Sarang Semut di Taman Nasional Wasur
 
Setelah perjalanan 1,5 jam tibalah kami di Distrik Sota. Disini saya merasakan berada di pedalaman. Sebagian besar rumah sudah permanen, dengan atap berbahan seng dan jarak antar rumah cukup jauh. Begitu juga jarak jalan dengan rumah, masih cukup jauh. Distrik Sota awalnya merupakan enclave di Taman Nasional Wasur, yang kemudian dikeluarkan dari zona lindung.  Sebagian besar masyarakat adalah penduduk asli Papua. Tampak muka - muka non papua yang sebagian besar adalah tentara penjaga tapal batas. 
Tugu Kembar Sabang-Merauke di Sota-Merauke
  
Akhirnya, tibalah saya di tapal batas Indonesia - Papua Nugini. Berada disini feel Papua nya semakin dapat, karena sesekali berseliweran warga asli memakai sepeda dengan membawa hasil_hasil hutan. Ya, mereka adalah penduduk Papua Nugini yang melakukan barter di Distrik Sota. Dari PNG mereka membawa hasil- hasil hutan untuk di barter dengan sembako dari Sota. Perkampungan terdekat di PNG jaraknya 18 km dari tapal batas. Akses menuju kesana melalui jalan setapak konstruksi tanah. 
Tapal Batas Negara Indonesia - PNG

Tapal Batas Negara Ina - PNG tampak dari Udara

 Tapal batas darat negara di Sota, merupakan tapal batas kedua yang sudah saya kunjungi setelah di Sebatik, Kalimantan Utara. Menurut saya, kondisi tapal batas Sota ini jauh lebih baik dibanding di Sebatik. Sudah ada penataan. Di sekitar tapal batas terdapat taman dan beberapa kios kecil. Kios-kios itu menjual souvenir yang merupakan hasil alam Papua. Minyak kayu putih, madu, minyak kasuari dan tas-tas rajutan dari kayu adalah beberapa jenis souvenir yang dijual di kios-kios tersebut. Yang menarik adalah kemasan dari barang-barang tersebut yang sangat apa adanya sekali. Madu disimpan di botol bekas minuman mineral dan minuman suplemen kesehatan.  Yang menarik, ada minyak kayu putih yang memakai botol bekas vodka. Pedagang kios-kios tersebut sebagian warga asli, dan beberapa barang berasal dari penduduk Papua Nugini. 

Madu asli hutan Papua dan Minyak Kayu Putih produksi lokal

Minyak Kayu Putih lokal dikemas dalam botol bekas

 Menjelang sore, kami kembali ke Kota Merauke. Lokasi yang dituju adalah pasar sore yang berada di suatu lapangan terbuka persis di depan Bandara Mopah. Sebagian besar penjual adalah penduduk asli Papua. Berada disini, benar-benar merasakan suatu sistem penjualan yang sangat tradisional. Barang yang diperjualbelikan yaitu hasil yang langsung diambil dari alam oleh penduduk asli seperti ikan, umbi_umbian, sayuran dan buah-buahan. Transaksi langsung terjadi antara produsen dengan konsumen, tanpa ada perantara pihak ketiga sebagai pemasok. Sistem penjualannya pun tidak menggunakan timbangan, tetapi menggunakan sistem onggokan.   

Satu hal yang menarik perhatian saya yaitu mama-mama yang menjual buah mangga. Baru kali ini saya melihat ada mangga berwarna merah. Mama penjual mangga menyebutnya mangga pipi merah. Sebagai penggemar mangga, saya penasaran sekali akan rasanya. Saya meminta mama tersebut mengupasnya, dan ternyata rasanya manis sedikit asam, enak dan segar. Satu onggokan  berisi 8 -10 biji yang dijual hanya seharga sepuluh ribu. 

Mangga Pipi Merah Khas Papua

Hal lain yang membuat saya tercengang yaitu ada mama-mama menjual burung kasuari. Satu onggokan daging dijual hanya 50rb saja. Kalau ditimbang, saya perkirakan bisa sampai 1,5 kg. Barang 'aneh' lainnya yang saya temui yaitu tupai panggang

Daging Burung Kasuari yang dijual bebas di Pasar Tradisional Merauke
Daging Tupai Panggang

 Setelah terheran-heran dengan pasar tradisional, kemudian kaki kami melangkah ke bagian pusat kota yang belum saya jelajahi. Kembali saya tersentak kaget, ternyata di Merauke sudah terdapat bangunan pasar modern. Ini kembali membuka mata saya kalau Merauke bukan sekedar 'seperti desa di pedalaman jawa'. Tetapi Merauke sudah menjelma menuju suatu kota. Bangunan pasar modern berlantai lebih dari satu lantai ini milik pemerintah. Sepanjang pengamatan saya, pasar ini sudah berfungsi sebagaimana mestinya. 


Pasar Modern Merauke

Pusat Ibukota Merauke

 Ketika hari semakin sore, kami bergegas lari ke pantai untuk mengejar sunset. Pantai yang kami tuju yaitu Pantai Lampu satu. Jaraknya tidak begitu jauh dari pusat kota, waktu tempuh tidak lebih dari 10 menit.  Pantai sedang surut ketika kami tiba disana, sehingga pantai tampak sangat begitu luas.  Pantai lampu satu yang berada di Laut Arafura ini memiliki garis pantai yang cukup panjang, dan kita bisa menikmati sunset yang sangat indah.
Pantai Lampu satu memiliki garis pantai yang cukup panjang
Sunset di Pantai Lampu Satu

Setelah empat hari di Merauke, kami harus kembali ke Jakarta.  Sebetulnya masih ada utang saya disini, belum menjelajah lebih jauh Taman Nasional Wasur. Menurut cerita, kalau beruntung kita bisa menemukan kanguru disana. Utang yang lainnya yaitu mengunjungi perbatasan laut Torasi. Akses yang cukup sulit dan waktu tempuh yang cukup lama, membuat kami urung mengunjunginya.

Tetapi ada utang lain (karena effect antimo) yang sudah terbayarkan. Saya berhasil memotret Kota Merauke dari udara dan Danau Sentani. Pemandangan Danau Sentani yang dikelilingi bukit-bukit hijau sungguh membuat saya tidak berhenti mengucap nama Allah. Karena ini pula saya mengurungkan niat untuk minum antimo. Tangan saya standby memegang kamera dan peta. Sepanjang perjalanan Jayapura-Makasar, 3 jam 'berkorban' tidak tidur hasilnya begitu menakjubkan. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur kepada Allah atas berkah dapat melihat keindahan alam Indonesia Timur, walaupun beberapa hanya lewat udara. 


Pemandangan menakjubkan di sekitar Bandara Sentani - Jayapura

Dari perjalanan ini, ada satu hal yang membuat saya serasa lengkap menjadi warga negara Indonesia.  Hanya dalam waktu 3 minggu berhasil menginjakan kaki di Sabang dan Merauke, diselingi singgah beberapa hari di Manado (ibukota provinsi perbatasan utara Indonesia). Dan satu hal lagi yang membuat saya bahagia , saya berhasil membeli  bubuk kopi wamena dan minum kopi nya langsung di tanah Papua. Kenikmatan kopi wamena yang tiada duanya, membuat perjalanan panjang ini sempurna!!

( 12 November 2015, ditulis sepanjang perjalanan panjang merauke _bandung).