Friday, January 24, 2014

Perjalanan ke Perbatasan Negara (3) : Malinau



Malinau adalah salah satu kabupaten di dataran Pulau Kalimantan yang berbatasan sekitar 20 – 60 Km  dengan wilayah Malaysia. Terdapat 30 desa yang tersebar di 5 kecamatan perbatasan. Karena keterbatasan transportasi, saya tidak sampai ke desa-desa perbatasan tersebut. Akses jalan darat menuju desa-desa perbatasan itu belum ada. Jalan darat dari ibukota Kabupaten Malinau hanya sampai ke ibukota kecamatan. Alternatif lain melalui darat yaitu menyusuri sungai menggunakan perahu ketingting dengan waktu tempuh 10 -18 jam bahkan lebih, tergantung dari kondisi arus sungai. Transportasi lainnya menuju ke perbatasan melalui udara. Pesawat jenis Cessna dapat mendarat di bandara-bandara perintis yang tersebar di pusat-pusat desa. Walaupun demikian, frekuensi penerbangan menuju kesana sangat terbatas sekali. Berdasarkan pengumuman yang saya baca di Bandara Malinau, penerbangan menuju ke perbatasan dijadwalkan dengan waktu tertentu dan harus membooking jauh-jauh hari sebelumnya. 

Jadi, perjalanan ke wilayah perbatasan negara kali ini, saya hanya sampai di ibukota kabupaten perbatasan, yaitu Kota Malinau. Perjalanan menuju Malinau merupakan pengalaman yang takkan terlupakan. Menggunakan pesawat Susi Air jenis Cessna, kami berangkat dari Kota Samarinda. Samarinda – Malinau ditempuh dalam waktu 2 jam. Surprised, ketika penumpang-nya hanya saya seorang dan ditemani oleh seorang staff Susi Air yang akan bertugas ke Malinau. Serasa berada di dalam pesawat carteran. Saya bisa leluasa pindah tempat duduk untuk memotret, dan ngobrol sepanjang perjalanan dengan pilot dan teknisi bule. Karena pesawat kecil, maka terbang tidak terlalu tinggi, sehingga dengan leluasa saya dapat memotret pemandangan di bawah. Satu kota terlewati, dan saya duga adalah kota di Kabupaten Kutai Timur. 


Salah satu kota diantara Kota Samarinda- Malinau

sungai yang meliuk-liuk diantara petak-petak perkebunan sawit

pabrik dan perumahan pekerjaan di tengah-tengah perkebunan sawit

hutan rimba Kalimantan

15 – 30 menit perjalanan, saya masih asik memotret. Tetapi setelah itu, dimana pemandangan di bawah sepanjang mata memandang adalah hutan rimba  dan bukit, membuat nyali saya ciut. Deg-degan dan komat-kamit berdoa. Dan sempat pasrah ketika pilot menyuruh saya mengenakan sabuk pengaman, karena cuaca memburuk. Beruntung hanya beberapa menit. Baru plong, ketika pesawat berhasil landing dengan mulus di Bandara Malinau.



Kota Malinau

Bandara  R. A Besing - Malinau

Bandara R.A Besing  Malinau

Menginjakkan kaki di Malinau, lagi-lagi seperti sebuah mimpi. Dulu, saya hanya mendengar dari seorang teman, dan sekarang saya berada di kota ini. Suasana sebuah kota di tengah hutan yang jauh kemana-mana sungguh sangat terasa. Saya merasa berada di tempat yang  sangat terpencil. Kota Malinau adalah ibukota Kabupaten Malinau yang ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). Tetapi, fungsi yang berjalan hanya sebagai pusat pemerintahan, kesehatan dan pendidikan tinggi. Akses transportasi (terutama jalan darat) menjadi penghambat dalam hubungan dengan wilayah lainnya di Kabupaten Malinau. Sarana transportasi yang memungkinkan terjadinya interaksi antar wilayah di Kabupaten Malinau hanya melalui jalur udara. Cost yang tinggi, menyebabkan tidak semua kalangan dapat dengan mudah menikmati fasilitas ini. Kondisi ini menyebabkan Kota Malinau tidak menjadi pusat orientasi bagi kecamatan-kecamatan lainnya. Orientasi kecamatan lainnya menuju ke pusat pelayanan yang lebih terjangkau seperti Kota Tarakan, Tanjung Selor bahkan ke wilayah Malaysia bagi kecamatan-kecamatan di wilayah perbatasan.
 Luas Kecamatan Kota Malinau berdasarkan data dari Kabupaten Malinau Dalam Angka Tahun 2012 yaitu 122,92 Km2. Jumlah penduduk pada tahun 2011 yaitu 24.554 jiwa. Selain bandara sebagai outlet pintu masuk, terdapat Dermaga Sungai Sesayap, yang melayani pelayaran ke Kota Tarakan (3 jam menggunakan speed boat). Seperti hal-nya kota lain di wilayah Kalimantan, sungai masih merupakan prasarana transportasi yang masih diandalkan oleh masyarakat. 



Dermaga Sungai Sesayap - Malinau

Sungai Sesayap

 Sayang-nya, pada saat-saat tertentu, air sungai meluber ke permukiman penduduk. Akibat hujan lebat yang terus menerus, sungai meluap dan menyebabkan rumah dan jalan tergenang air. Selain curah hujan yang tinggi, banjir ini bisa jadi karena hulu tidak mampu menahan air akibat hutan sudah beralih fungsi menjadi pertambangan dan perkebunan sawit. Sangat disayangkan pula, yang memparah banjir di permukiman adalah buruknya sistem drainase. Saya sampai harus membuka sepatu untuk melewati sebuah rumah makan, karena halaman depan rumah makan tersebut terendam air sampai 30 cm.  Belum terlambat bagi Kota Malinau untuk berbenah, karena potensi lahan yang masih luas dan jumlah penduduk yang belum padat. 




Permukiman dan jalan yang tergenang
 
 Cerita lain di Kota Malinau adalah saya menemukan cafe yang lumayan cozy untuk ukuran kota di tengah hutan. Daya tarik cafe  dengan desain ruangan yang modern ini adalah menyediakan WIFI. Walaupun kita harus sabar dengan signal yang sangat lemah. Cafe ini menyediakan kopi, coklat, teh dan jus dengan racikan modern. Makanan yang tersedia selain makanan berat (nasi goreng, soto, berbagai macam mie) juga cemilan-cemilan seperti kentang goreng, risoles, roti-roti dan cake slice. Rasanya, lumayan dengan harga yang cukup lumayan juga. Mengenai harga, kita harus maklum dengan biaya hidup yang cukup tinggi di Malinau. Transport cost tinggi  dalam penyediaan  barang-barang serta bahan bakar yang mahal, menjadikan semuanya menjadi mahal disini.
Cafe itu terletak persis di depan tempat saya menginap. Penginapan ini adalah penginapan terbaik di Kota Malinau. Bagian belakang-nya menghadap ke sungai. Untuk mencirikan ke khas-an Kalimantan sebagai wilayah dengan banyak sungai, pemilik hotel menyediakan beranda untuk dapat menikmati pemandangan di sungai.
Hanya satu malam saya berada di Malinau, dan memang tidak mau berlama-lama disini . Tetapi menjelang kepulangan, di pagi hari ketika saya duduk di beranda menikmati sungai, saya berkenalan dengan seorang aktivitis masyarakat adat. Ketika tau saya datang dari Jakarta, serta merta dia mengajak saya berjalan-jalan ke suatu lokasi wisata air terjun.  Katanya, sekitar 1 jam waktu tempuh dari Kota Malinau. Cukup menarik ajakannya,apalagi menuju kesana jalan-nya seperti offroad. Tapi terpaksa saya tolak, karena jam 10 saya sudah harus terbang ke Tarakan untuk kemudian melanjutkan lagi penerbangan pulang ke Jakarta. 


Sungai yang meliuk-liuk sepanjang perjalanan Malinau - Tarakan

Sungai menuju muara ke perairan Tarakan

Perairan Kota Tarakan



Thursday, January 16, 2014

Perjalanan ke Perbatasan Negara (2) : Sebatik



Penyeberangan resmi dari Nunukan menuju Sebatik melalui Pelabuhan Sei Jepun yang berada di Kecamatan Nunukan Selatan. Menggunakan speed boat dengan kapasitas penumpang max 10 orang dan dapat ditempuh sekitar 25 - 30 menit. Memasuki Pulau Sebatik melalui Dermaga Binalawan yang berada di Kecamatan Sebatik Barat. 


Dermaga Binalawan - Sebatik

 Outlet resmi sebagai pintu keluar masuk Sebatik tidak hanya dermaga kecil ini. Menuju Nunukan, dapat melalui Dermaga Bambangan yang juga berada di Kecamatan Sebatik Barat. Pelabuhan yang dituju yaitu Pelabuhan Tunontaka serta dermaga-dermaga kecil di sekitarnya. Waktu tempuh menuju Nunukan lebih pendek yaitu sekitar 15-20 menit.     

Dermaga Blambangan  - Sebatik


Pelabuhan besar berada di Sei Nyamuk, Kecamatan Sebatik Timur. Pelabuhan ini dahulunya merupakan pelabuhan penyeberangan menuju Tawau – Malaysia. Tetapi sejak awal tahun 2013, Pemerintah Bagian Negara Sabah, tidak berkenan untuk menerima kapal yang berasal dari Pelabuhan Sei Nyamuk. Dengan alasan rawan penyeludupan barang dan manusia, Pemerintah Malaysia hanya berkenan menerima  kapal yang berasal  dari Pelabuhan Tunontaka di Nunukan.
Untuk sebuah pelabuhan penyeberangan lintas negara, Pelabuhan Sungai Nyamuk memang tidak layak. Dermaga sepanjang ± 2 Km masih dengan konstruksi kayu. 
Syarat suatu pelabuhan penyeberangan adalah adanya  fasilitas kantor imigrasi, kantor bea cukai, fasilitas karantina dan fasilitas keamanan atau yang disebut CIQS. Pelabuhan Sei Nyamuk memang sudah memenuhi unsur itu, tetapi tidak memiliki fasilitas x-ray. Sehingga tidak dapat mengontrol arus keluar masuk barang. 


Dermaga kayu di Pelabuhan Sei Nyamuk


Salah satu Fasilitas CIQS di Sei Nyamuk - Sebatik

 Penutupan Pelabuhan Sei Nyamuk sebetulnya sangat menyulitkan warga masyarakat Pulau Sebatik. Karena, untuk menuju ke Tawau mereka harus menuju ke Nunukan terlebih dahulu.  Konsekuensinya adalah  ongkos transportasi yang lebih mahal. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, masyarakat Sebatik memang sangat tergantung dari Tawau. Hampir 90% kebutuhan pokok masyarakat dipasok dari Tawau. Tabung gas elpiji pun ber-merk Petronas, dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan elpiji Pertamina. Sepanjang saya mengamati arus barang masuk ke Sebatik dan mengamati stok barang-barang baik di pasar tradisional maupun minimarket, barang buatan Indonesia hanya mie instan dan rokok. 

Kebutuhan pokok yang dipasok dari Malaysia

 
Luas Pulau Sebatik berdasarkan data dari Kantor BPS Kabupaten Nunukan yaitu 27.390 Ha. Penggunaan lahan didominasi oleh tanaman perkebunan seperti coklat dan tanaman buah-buahan. Hanya terdapat sedikit sekali sawah. Sudah mulai terjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Hasil-hasil perkebunan tersebut, hampir seluruhnya dijual ke Malaysia. Kecuali  sebagian sawit yang berada di  Sebatik bagian barat diperuntukan untuk pabrik CPO yang berada di tempat itu. 


Perkebunan sawit yang telah merambah Sebatik

Kelapa dan pisang, komoditi unggulan dari Sebatik

Pusat pelayanan Pulau Sebatik berada di Sei Nyamuk. Selain Pelabuhan Sei Nyamuk, fasilitas pelayanan yang ada yaitu Bank dan ATM (BNI, Mandiri, BRI dan Bank Kaltim), pasar tradisional dan pusat perbelanjaan (mini market). Selain itu, terdapat 2 unit penginapan. Tipologi permukiman penduduk, yaitu linier sepanjang jalan utama , berkelompok dan tersebar diantara perkebunan.
Selain bercirikan agraris, penduduk Sebatik sebagian juga adalah nelayan. Sehingga, tersebar perkampungan nelayan sepanjang garis pantai. Sebagian besar kondisi permukiman nelayan tersebut sangat jauh dari standar kelayakan. Sangat minim infrastruktur seperti sanitasi dan air bersih. Jembatan jerambah sebagai alat pengubung antar perumahan dan menuju dermaga, banyak yang dalam kondisi rusak. 


Sarana MCK di salah satu permukiman terapung di Sei Pancang

Lain halnya dengan permasalahan permukiman di pedalaman. Jalan desa sebagai penghubung antar kampung maupun menuju tempat mencari nafkah kebanyakan masih berupa agregat (tanah dan kerikil). Beberapa dusun terisolir karena belum ada jalan. Bahkan, ada dusun yang harus melewati tempat yang sudah masuk ke negara Malaysia untuk menuju ke jalan utama. Jalan utama sendiri berupa jalan lingkar Sebatik yang kondisinya sudah bagus beraspal hotmix. 


Permukiman yang terisolir di Sei Limau

Sepanjang saya blusukan ke kampung nelayan dan pedalaman, dapat dikatakan bahwa warga di perbatasan masih jauh dari sejahtera. Sebagian besar rumah bertipe temporer dengan infrastruktur permukiman yang minim.  Bahkan ada beberapa desa yang belum teraliri listrik. Untuk kebutuhan penerangan, hanya berasal dari mesin jenset dan menyala hanya beberapa jam saja pada malam hari. 

Kebetulan saya berkesempatan mengunjungi desa di wilayah Sebatik Malaysia. Keadaan permukiman penduduk di Kampung Mentadak dan Wallace Bay, tidak jauh seperti yang ada di  Kota Tawau. Bersih dan rapih. Tipe rumah sebagian besar rumah panggung, dan kolong digunakan untuk ruang yang lebih bermanfaat. Hampir seluruh rumah telah memenuhi unsur kelayakan, lengkap dengan sistem sanitasi yang sehat. Air bersih dan gas gratis, disubsidi oleh pemerintah. Listrik hanya membayar 3 bulan sekali dengan biaya yang  sangat murah. Kebutuhan dasar penduduk telah dipenuhi oleh Pemerintah Malaysia. Selain sekolah dan  klinik kesehatan, di pusat kampung terdapat lapangan sepakbola lengkap dengan tribun penonton. Yang mengejutkan, di dekat lapangan bola tersebut terdapat Perpustakaan Desa. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah, ada warung makan yang sangat biasa sekali,  tetapi sudah ada fasilitas WIFI. Bandingkan dengan WIFI di hotel tempat saya menginap di Sei Nyamuk, sampe putus asa saya mencari sinyal. 


Permukiman di Kampung Mentadak - Sebatik  Malaysia


Perpustakaan Desa di di Kampung Mentadak - Sebatik  Malaysia

Kampung Mentadak dan Wallace Bay, bukan merupakan kampung nelayan. Tetapi letak geografis kedua kampung ini menghadap ke perairan. Sehingga, di beberapa tempat terdapat dermaga. Kebanyakan dermaga tersebut merupakan sarana transportasi menuju ke Kota Tawau. Ada satu dermaga yang saya amati. Dermaga tersebut terbuat dari kayu jerambah. Terdapat beberapa rumah terapung di sepanjang dermaga. Kondisi lingkungan di sekitar perumahan terapung itu, sangat jauh sekali dengan apa yang ada di Sebatik Indonesia, bersih, hijau bahkan nyaris tidak ada sampah.


Perumahan terapung di Kampung Mentadak - Sebatik  Malaysia
 
Sesungguhnya masyarakat di Pulau Sebatik dahulu merupakan satu kesatua kekerabatan. Karena intrik politik, menyebabkan mereka menjadi terpisah. Tetapi sayang-nya, masyarakat yang berada di wilayah teritorial Malaysia kondisi-nya lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia. Selain menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan ke Kota Tawau, beberapa masyarakat Sebatik Indonesia bekerja di Tawau dan menjadi penduduk penglaju. Perlakuan warga negara kita oleh aparat malaysia memang sungguh menginjak-nginjak harga diri. Saya menjadi saksi bagaimana ketatnya masuk dan keluar dari Pelabuhan Tawau. Aparat petugas disana berteriak lantang  dan galak untuk mengatur arus manusia. Antri tidak berlaku disana untuk warga negara Malaysia. Tinggal berkata “saya orang malaysia“, maka akan didahulukan masuk. Dalam proses transaksi jual beli, harga produk dari Indonesia dapat seenaknya dipermainkan. Petani dan nelayan, sudah barang tentu tidak berdaya melawan-nya. 

Itulah kenyataan dari suatu wilayah yang telah ditetapkan sebagai “kawasan strategis nasional yang pembangunan-nya diprioritaskan”. Telah banyak studi yang membahas rencana penataan, strategi percepatan pembangunan, rencana action plan, bahkan kepada studi-studi detail.  Tetapi sayang-nya hanya berupa buku yang tersimpan rapi di kantor proyek. Tapi mudah-mudahan, upaya percepatan pembangunan kawasan perbatasan segera terealisir. Pemerintah sudah ber-itikad baik dengan mengalokasikan dana sekitar 9,7 Triliun pada TA 2014  untuk pembangunan infrastruktur di  kawasan perbatasan. Kita tunggu...;-)