Wednesday, January 29, 2020

Menuju 75 Tahun Indonesia Merdeka : Warga Ledo - Kalimantan Barat belum merasakan aliran listrik dan Jalan yang mulus


Ini cerita perjalanan saya yang mengendap, tahun 2018, dan baru sempat saya tulis di awal tahun 2020. Penggerak saya untuk kembali menulis, ingin berbagi cerita tentang masih ada  ‘kesusahan’ di suatu wilayah NKRI ditengah massive nya pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan, ingin mention pak jokowi, ingin juga sedikit membantu menyuarakan keinginan warga disana (yang sudah menyediakan saya durian hutan kalimantan yang enak) untuk bisa ikut merasakan pembangunan setelah 75 tahun Indonesia merdeka.  Dan yang terpenting sebetulnya, saya mendapat pelajaran hidup , dan itu sempat saya ungkapkan di suatu rapat yang memaparkan kondisi wilayah ini. Dengan suara parau menahan tangis,  saya ungkapkan pelajaran hidup yang saya dapatkan. 

Ledo, sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Jarak  dari Pontianak ± 200 Km yang dapat ditempuh ± 4,5 jam. Menuju Ledo dari Pontianak tidak terlalu sulit karena akses yang cukup baik, yaitu melalui jalan nasional Pontianak – Jagoi Babang. Jagoi Babang sendiri merupakan sebuah kecamatan perbatasan dengan Serawak – Malaysia. Selain dilalui oleh jalan nasional, Ledo juga dilalui oleh jalan provinsi  dengan kondisi yang sangat mulus. Jalan provinsi ini menghubungkan Ledo dengan Kabupaten Sambas, yang merupakan kabupaten induk sebelum terbentuk Kabupaten Bengkayang pada tahun 1999. Posisi Ledo yang dilalui oleh dua  jalan strategis tersebut, berbanding  terbalik dengan kondisi akses di desa-desa di Kecamatan Ledo.
Kecamatan Ledo terdiri dari 12 desa. Merujuk pada nilai Indeks Pembangunan Desa yang dirilis pada tahun 2014, tujuh desa termasuk klasifikasi berkembang dan lima desa termasuk desa tertinggal. Pembagian klasifikasi desa tersebut, ternyata membentuk suatu konfigurasi wilayah dimana desa berkembang berada di wilayah utara Ledo dan desa yang tertinggal berada di wilayah selatan.
Bagian utara Kecamatan Ledo penggunaan lahan didominasi oleh perkebunan sawit dan terdapat pabrik pengolahan kelapa sawit/CPO serta sebagian besar mata pencaharian penduduk menggantungkan pada sektor ini. Sawit menjadi ekonomi penggerak  di Ledo, dimana kontribusi produksi sawit dari Ledo terhadap produksi kabupaten mencapai 30%.
Yang menarik dari wilayah utara Ledo ini adalah,dahulunya  merupakan daerah transmigasi . Menurut penuturan beberapa warga, wilayah ini dibuka sekitar tahun 1992 dengan tujuan untuk mengembangkan perkebunan sawit, dan sebagai pemenuhan tenaga kerja, didatangkan lah warga dari  wilayah lain.  Penamaan beberapa desa  di wilayah ini, kental sekali dengan ciri  daerah trans, seperti Sukajaya dan Sukadamai. Nuansa-nuansa daerah trans dapat dirasakan seperti masih terdapat beberapa rumah dengan tulisan Rumah Dinas Staf KUPT XXVII  serta sekolah dengan nama  SD Trans.
SD Trans Sebakul

Suasana di ruangan kelas SD Trans Sebakul

Salah satu rumah dinas Staf KUPT

Pola permukiman desa-desa ini berada di tengah-tengah perkebunan sawit. Sebagian besar lahan sudah menjadi milik warga, karena skema perkebunan plasma inti telah selesai. Ironisnya, karena wilayah ini dahulu milik perkebunan sehingga akses jalan menjadi kewenangan perkebunan, setelah masa kontrak selesai, perusahaan meninggalkan warisan berupa jalan yang kondisinya rusak. Di lokasi ini, pertama kalinya saya merasakan off road menggunakan jeep pengangkut sawit. Seru sekali pada saat jeep yang kami tumpangi, ban nya selip sehingga harus mendatangkan jeep lain untuk menarik jeep kami.


Kondisi jalan di perkebunan sawit

survey sambil off road di perkebunan sawit
 Dengan kondisi jalan seperti itu, sebetulnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi di wilayah Ledo bagian selatan, yang penggunaan lahan nya bukan didominasi  perkebunan sawit.  Terdapat dua desa, yaitu Desa Dayung dan Desa Lomba Karya yang hanya bisa di akses melalui sungai. Desa Sidai dan Desa Seles, sama sekali tidak memiliki akses langsung menuju pusat ibukota Kecamatan Ledo. Menuju Ledo dari kedua desa tersebut, harus memutar melalui kecamatan lain, kemudian masuk ke pusat kota Bengkayang terlebih dahulu, dan  selanjutnya melalui jalan nasional menuju Ledo. Kondisi jalan menuju dua desa tersebut dari Kecamatan Suti Semarang sangat buruk. Apabila musim penghujan datang, kedua desa ini  terisolir karena jalan berlumpur  tidak dapat dilalui.  Saya tidak sempat mengunjungi kedua desa ini, tetapi dua orang teman saya berhasil kesana. Kondisi jalan yang sangat buruk, sehingga motor pun harus di modifikasi agar dapat melaluinya. Walaupun sudah di modif sedemikian rupa, tetapi teman saya mengalami cerita lucu di tengah perjalanan, mesin motornya sampai jebol. Masih menurut penuturan teman saya, dalam perjalanan banyak ditemukan jembatan-jembatan konstruksi kayu yang kondisinya sudah rusak, dan  teman saya itu sempat tersungkur jatuh karena medan yang sangat buruk.
Pengalaman bermotor di kondisi jalan yang sangat buruk kemudian saya alami di perjalanan saya sepulang dari sebuah Desa bernama Dayung. Pemberian nama desa tersebut, menurut penuturan warga, karena dahulu kala menuju desa tersebut hanya bisa menggunakan dayung menelusuri Sungai Sambas. Sampai dengan saat ini pun, menuju Desa Dayung harus melalui sungai menggunakan perahu kayu yang sekarang sudah menggunakan mesin. Waktu tempuh dari dermaga yang ada di ibukota Ledo sekitar 45 menit.


Perjalanan menuju Desa Dayung dan Lomba Karya Menelusuri Sungai Sambas


Dermaga Dusun Batu Ajung - Desa Dayung yang sangat sederhana


Desa Dayung ini hanya terdiri dari 2 dusun. Dusun Batu Ajung yang merupakan pusat desa, terdapat fasilitas kantor desa dan 1 unit Sekolah Dasar dan 1 unit gereja. Jumlah rumah secara pastinya saya lupa, ± 100 – 150 rumah dengan kondisi sebagian besar berkonstruksi kayu. Desa Dayung belum ada jaringan listrik. Kebutuhan penerangan saat ini menggunakan panel surya individu di setiap rumah dengan kapasitas yang sangat terbatas. Saking berharapnya  warga desa ingin mendapatkan penerangan, mereka antusias sekali  menunjukan pada kami ada  riam yang  potensial bisa diajadikan sebagai pembangkit listrik tenaga micro hidro. Karena tidak kuasa menolak antusiasme warga , di tengah terik matahari, kami melalukan hiking menelusuri jalan-jalan setapak diantara rerimbunan pohon menuju sebuah sungai yang jaraknya dekat menurut orang desa dan jauhhhh menurut kami.

medan menuju lokasi riam potensi PLTMH

Perjalanan kami selanjutnya menuju Dusun Dapan, belum ada jalan darat penghubung antar dusun, harus men-dayung kembali. Waktu tempuh ± 15 menit. Setiba di dermaga tambatan perahu,menuju   Dusun Dapan harus menyeberang melalui jembatan yang konstruksinya masih kayu, dan posisi dusun nya agak menjorok de dalam sekitar 1,5 Km dari pinggir sungai. Kondisi permukiman mengelompok, sebagian besar konstruksi rumah dari kayu,  terdapat 1 unit gereja dan satu lapangan terbuka yang cukup luas untuk bermain sepakbola dan bola voli. Sama seperti dusun Batu Ajung, Dusun Dapan belum ada jaringan listrik. Penerangan berasal dari mesin genset yang dikelola secara swadaya. Di dusun ini saya singgah di rumah salah satu perangkat desa. Di tengah obrolan, saya bertanya, “listrik nya kuat untuk menonton TV pak ?”, dijawab oleh si bapak : “kebetulan kami tidak memiliki TV bu...” Bodoh sekali saya bertanya.  Si Bapak kemudian bercerita, baik di dusun Batu Ajung maupun Dapan tidak ada SMP. SMP yang terdekat dengan Dusun Dapan  berada di desa sebelah yaitu Desa Lomba Karya. Karena jarak yang cukup jauh dan anak-anak harus berjalan kaki menelusuri jalan setapak  (menggunakan perahu bermotor tidak sanggup karena biaya cukup mahal), mereka berangkat dari rumah jam 05.30 dalam kondisi belum mandi. Dan baru mandi  kemudian di sungai yang berdekatan dengan sekolah.
 
Jembatan penyebrangan konstruksi kayu menuju Dusun Dapan

Jaringan Listrk yang bersumber dari Genset yang dikelola swadaya

Menjelang sore, kami kembali ke Dusun Batu Ajung,  saya memutuskan kembali ke pusat ibukota Ledo melalui satu-satunya akses  jalan darat (karena saya ingin mengetahui kondisinya). Sambil menunggu motor yang bisa mengantar kami, saya lanjutkan sesi wawancara dengan warga mengenai sistem agribisnis jagung yang sebagian besar diusahakan oleh warga Dayung.  Saat itulah , saya ikut merasakan bagaimana warga melewati  menjelang malam dengan kegelapan, saya menulis poin-poin wawancara di tengah pencahayaan yang sangat minim.
Jalan darat yang kemudian saya lalui ini, merupakan satu-satu nya akses yang diharapkan warga bisa terbangun, untuk konektivitas yang lebih baik terutama menuju pusat pemasaran hasil-hasil jagung , sehingga dapat mengurangi biaya logistik yang selama ini dirasa cukup berat karena harus melalui sungai. Selain itu, agar anak2 usia SMP keatas bisa terus melanjutkan sekolah dengan tidak harus kost di pusat kota Ledo.   Panjang nya hanya sekitar 6 Km, dan langsung terhubung dengan Jalan Nasional Pontianak – Jagoi Babang. Jalan ini masih berupa tanah merah, yang apabila turun hujan berubah menjadi lumpur sehingga tidak bisa dilalui. Beruntung kami, sore itu tidak hujan, jalan masih bisa dilalui walaupun masih dalam kondisi becek karena sehari sebelumnya hujan turun sangat lebat. Di tengah perjalanan dalam kondisi langit sudah mulai gelap, tiba-tiba motor yang saya tumpangi berhenti. Ada masalah di mesin. Bayangkan, di tengah hutan, kondisi sudah gelap dan hanya kami ber-empat, dengan mengandalkan penerangan dari handphone,  pikiran saya sudah macam-macam, takut diserang  ular lah...beruang lah... Untungnya masalah segera bisa diatasi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan hati dag dig dug ingin segera melihat di depan ada perkampungan, yang artinya sudah sampai di desa yang dituju.


Kondisi satu-satunya jalan akses menuju Desa Dayung
  
Adzan Isya berkumandang ketika kami tiba di pusat kota Ledo, berarti perjalanan darat  ± 1 jam karena  kami  beranjak dari Dusun Batu Ajung, ketika menjelang magrib. Sungguh perjalanan yang luar biasa dan  saya mendapatkan pelajaran hidup, selalu bersyukur karena  masih banyak diluar sana yang tidak seberuntung saya, yang ditakdirkan hidup  di tengah moderinisasi kota.