Tuesday, December 10, 2013

Inspirasi dari Film Sokola Rimba : Peran Indigenous People dalam Proses Penataan Ruang.



Membaca twit seorang teman, ternyata film Sokola Rimba menuai kontroversi. Ada beberapa pihak yang menyayangkan kenapa Riri Riza lebih mengangkat konflik internal. Mengangkat konflik internal malah ditakutkan akan menghambat gerakan itu sendiri. Saya belum membaca buku Sokola Rimba yang ditulis oleh ibu guru Manurung, tapi saya sempat melihat film-nya. Pada saat menonton film, penilaian saya terfokus pada keberadaan Suku Anak Dalam, dan saya kurang memperhatikan adegan tentang konflik internal itu. Suku Anak Dalam sungguh jauh dari peradaban, baju pun hanya cawat, dan yang paling sedih mereka dibodoh-bodohi oleh mereka yang telah diberi hak pengelolaan hutan. Keberadaan Suku Anak Dalam semakin terdesak oleh aktivitas penebangan pohon dan merajalela-nya perkebunan sawit. Sama seperti kita, mereka pun punya hak hidup kan? Hidup di tempat mereka merasa nyaman untuk berpenghidupan. 

Suku anak dalam termasuk  ‘indigenous people’ atau masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat. Nenek moyang mereka telah ada jauh sebelum negara ini berdiri. Tetapi, sudah kah negara memikirkan hak hidup mereka? Tidak jarang kita mendengar berita tentang konflik negara atau suatu korporasi dengan masyarakat tradisional. Konflik itu terjadi karena masyarakat tradisional merasa hak-nya dirampas. Dan apakah negara sudah cukup melindungi mereka? Pernah terpikir kah  bahwa mereka yang jauh dari peradaban dan sangat dekat sekali dengan kebodohan, memiliki peranan dalam pembangunan? 

Mungkin kita sebagai manusia yang lebih beruntung dilahirkan di dunia modern, akan mengernyitkan dahi ketika ada salah satu adegan di film Sokola Rimba, untuk mengambil madu saja mereka harus melakukan suatu ritual dengan jampi-jampi yang aneh. Tapi jangan salah, ritual itu merupakan bentuk penjagaan terhadap pohon itu sendiri. Masyarakat adat yang tinggal di hutan, dijamin tidak akan merusak hutan. Karena mereka hidup dari hasil-hasil hutan. Mereka punya kepercayaan ada pohon-pohon tertentu yang dilarang untuk ditebang. Larangan itu pun memiliki makna. Seperti yang ditunjukan di film Sokola Rimba, pohon itu diperlakukan istimewa karena merupakan sarang lebah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas. 

Sebelum pemerintah mengeluarkan suatu larangan untuk menebang pohon di hutan lindung, masyarakat adat pun telah memiliki larangan itu. Contoh lain di belantara hutan Indonesia lainnya  adalah, suku Dayak Kalimantan memiliki suatu ‘pukung pahewan’ atau hutan yang dilarang untuk ditebang. Suku Dayak Benuaq di Kutai Barat memperlakukan secara istimewa pohon Benggaris. Pohon Benggaris adalah salah satu pohon tertinggi (bisa mencapai 80 meter) di hutan hujan tropis. Diperlukan istimewa karena pohon tinggi ini merupakan sarang lebah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, masyarakat suku Dayak Benuaq menerapkan aturan yang ketat pada pohon ini, termasuk pada aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. 

Bentuk-bentuk larangan masyarakat adat yang kadangkala dibungkus dalam mitos adalah peran mereka terhadap pembangunan. Sesungguhnya para masyarakat yang tinggal di hutan itu  tidak akan menebang pohon secara besar-besaran menggunakan gergaji yang suaranya memekakkan telinga. Mereka hanya berbekal alat-alat sederhana dan hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya butuh ranting untuk bahan bakar, dan mengumpulkan rotan-rotan untuk dijual ke kota terdekat, untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Keberadaan mereka seharusnya dilindungi karena hutan sudah dijaga oleh mereka. Ketika pemerintah menetapkan suatu kawasan sebagai hutan lindung atau taman nasional, seharusnya bukan hanya melindungi dalam arti fisik wilayah, tapi manusia di dalamnya sebagai penghuni juga harus dilindungi. 

Lebih jauh, masyarakat indigenous itu memiliki pengetahuan lokal untuk menata ruang. Selain mereka memiliki hutan larangan, ada bagian hutan lain yang diperuntukan sebagai hutan produksi. Suku Dayak Benuaq membagi hutan menjadi 6 zona yang memiliki fungsi masing-masing seperti khusus untuk tempat berladang, perkebunan, berburu dan memungut hasil hutan bukan kayu, hutan untuk tanaman keras dan hutan yang diperuntukan bagi pembangunan rumah. Masyarakat Dayak Ngaju di Katingan Kalimantan Tengah membagi hutan untuk tempat bermukim, tempat berburu, tempat berladang, dan tempat untuk tanaman buah-buahan. 

Pengetahuan lokal itulah yang menjadi peran mereka terhadap pembangunan. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan masyarakat hukum adat dan pengetahuan lokal yang dimilikinya, telah diakui keberadaannya oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang menjelaskan bahwa bentuk dan peran masyarakat dalam penataan ruang dapat berupa : (1) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (2) peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut dan ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Perangkat peraturan telah mengakui keberadaan dan mendukung upaya untuk lebih memperhatikan hak-hak mereka. Bagaimana dengan implementasi-nya? Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai pedoman dalam menata ruang seharusnya sudah dapat mengakomodir ini. Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, disebutkan bahwa dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten, peran serta masyarakat harus dilibatkan dari mulai proses persiapan sampai tahap pengesahan. Pengetahuan lokal seharusnya dijadikan sebagai masukan dalam proses perencanaan ruang. Keberadaan masyarakat hukum adat dengan pengetahuan lokalnya dapat dilibatkan terutama dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Indonesia yang terdiri dari beragam suku budaya, memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga, seharusnya substansi peran masyarakat dalam penataan ruang di setiap wilayah itu berbeda-beda, memiliki keunikan tersendiri, tidak terjadi penyeragaman kata-kata.

No comments:

Post a Comment