Membaca twit seorang teman,
ternyata film Sokola Rimba menuai kontroversi. Ada beberapa pihak yang menyayangkan
kenapa Riri Riza lebih mengangkat konflik internal. Mengangkat konflik internal
malah ditakutkan akan menghambat gerakan itu sendiri. Saya belum membaca buku
Sokola Rimba yang ditulis oleh ibu guru Manurung, tapi saya sempat melihat
film-nya. Pada saat menonton film, penilaian saya terfokus pada keberadaan Suku
Anak Dalam, dan saya kurang memperhatikan adegan tentang konflik internal itu.
Suku Anak Dalam sungguh jauh dari peradaban, baju pun hanya cawat, dan yang
paling sedih mereka dibodoh-bodohi oleh mereka yang telah diberi hak
pengelolaan hutan. Keberadaan Suku Anak Dalam semakin terdesak oleh aktivitas
penebangan pohon dan merajalela-nya perkebunan sawit. Sama seperti kita, mereka
pun punya hak hidup kan? Hidup di tempat mereka merasa nyaman untuk
berpenghidupan.
Suku anak dalam termasuk ‘indigenous people’ atau masyarakat
tradisional atau masyarakat hukum adat. Nenek moyang mereka telah ada jauh
sebelum negara ini berdiri. Tetapi, sudah kah negara memikirkan hak hidup
mereka? Tidak jarang kita mendengar berita tentang konflik negara atau suatu
korporasi dengan masyarakat tradisional. Konflik itu terjadi karena masyarakat
tradisional merasa hak-nya dirampas. Dan apakah negara sudah cukup melindungi
mereka? Pernah terpikir kah bahwa mereka
yang jauh dari peradaban dan sangat dekat sekali dengan kebodohan, memiliki
peranan dalam pembangunan?
Mungkin kita sebagai manusia yang
lebih beruntung dilahirkan di dunia modern, akan mengernyitkan dahi ketika ada
salah satu adegan di film Sokola Rimba, untuk mengambil madu saja mereka harus
melakukan suatu ritual dengan jampi-jampi yang aneh. Tapi jangan salah, ritual
itu merupakan bentuk penjagaan terhadap pohon itu sendiri. Masyarakat adat yang
tinggal di hutan, dijamin tidak akan merusak hutan. Karena mereka hidup dari
hasil-hasil hutan. Mereka punya kepercayaan ada pohon-pohon tertentu yang
dilarang untuk ditebang. Larangan itu pun memiliki makna. Seperti yang
ditunjukan di film Sokola Rimba, pohon itu diperlakukan istimewa karena
merupakan sarang lebah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas.
Sebelum pemerintah mengeluarkan
suatu larangan untuk menebang pohon di hutan lindung, masyarakat adat pun telah
memiliki larangan itu. Contoh lain di belantara hutan Indonesia lainnya adalah, suku Dayak Kalimantan memiliki suatu
‘pukung pahewan’ atau hutan yang dilarang untuk ditebang. Suku Dayak Benuaq di
Kutai Barat memperlakukan secara istimewa pohon Benggaris. Pohon Benggaris
adalah salah satu pohon tertinggi (bisa mencapai 80 meter) di hutan hujan
tropis. Diperlukan istimewa karena pohon tinggi ini merupakan sarang lebah yang
akan menghasilkan madu yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, masyarakat
suku Dayak Benuaq menerapkan aturan yang ketat pada pohon ini, termasuk pada
aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Bentuk-bentuk larangan masyarakat
adat yang kadangkala dibungkus dalam mitos adalah peran mereka terhadap
pembangunan. Sesungguhnya para masyarakat yang tinggal di hutan itu tidak akan menebang pohon secara besar-besaran
menggunakan gergaji yang suaranya memekakkan telinga. Mereka hanya berbekal alat-alat
sederhana dan hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya butuh ranting
untuk bahan bakar, dan mengumpulkan rotan-rotan untuk dijual ke kota terdekat,
untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Keberadaan mereka seharusnya dilindungi
karena hutan sudah dijaga oleh mereka. Ketika pemerintah menetapkan suatu
kawasan sebagai hutan lindung atau taman nasional, seharusnya bukan hanya
melindungi dalam arti fisik wilayah, tapi manusia di dalamnya sebagai penghuni juga
harus dilindungi.
Lebih
jauh, masyarakat indigenous itu memiliki pengetahuan lokal untuk menata ruang.
Selain mereka memiliki hutan larangan, ada bagian hutan lain yang diperuntukan
sebagai hutan produksi. Suku Dayak Benuaq membagi hutan menjadi 6 zona yang
memiliki fungsi masing-masing seperti khusus untuk tempat berladang,
perkebunan, berburu dan memungut hasil hutan bukan kayu, hutan untuk tanaman
keras dan hutan yang diperuntukan bagi pembangunan rumah. Masyarakat Dayak
Ngaju di Katingan Kalimantan Tengah membagi hutan untuk tempat bermukim, tempat
berburu, tempat berladang, dan tempat untuk tanaman buah-buahan.
Pengetahuan
lokal itulah yang menjadi peran mereka terhadap pembangunan. Undang-undang No
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan
masyarakat hukum adat dan pengetahuan lokal yang dimilikinya, telah diakui
keberadaannya oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang menjelaskan bahwa
bentuk dan peran masyarakat dalam penataan ruang dapat berupa : (1) kegiatan
memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan
lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (2) peningkatan
efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut
dan ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perangkat
peraturan telah mengakui keberadaan dan mendukung upaya untuk lebih
memperhatikan hak-hak mereka. Bagaimana dengan implementasi-nya? Rencana Tata
Ruang Wilayah sebagai pedoman dalam menata ruang seharusnya sudah dapat
mengakomodir ini. Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten, disebutkan bahwa dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten, peran serta
masyarakat harus dilibatkan dari mulai proses persiapan sampai tahap
pengesahan. Pengetahuan lokal seharusnya dijadikan sebagai masukan dalam proses
perencanaan ruang. Keberadaan masyarakat hukum adat dengan pengetahuan lokalnya
dapat dilibatkan terutama dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dan
pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Indonesia yang terdiri dari beragam
suku budaya, memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Sehingga, seharusnya substansi peran masyarakat dalam penataan ruang di setiap
wilayah itu berbeda-beda, memiliki keunikan tersendiri, tidak terjadi
penyeragaman kata-kata.
No comments:
Post a Comment