Ini cerita perjalanan saya yang
mengendap, tahun 2018, dan baru sempat saya tulis di awal tahun 2020. Penggerak
saya untuk kembali menulis, ingin berbagi cerita
tentang masih ada ‘kesusahan’ di suatu
wilayah NKRI ditengah massive nya pembangunan infrastruktur yang sedang
dilakukan, ingin mention pak jokowi, ingin juga sedikit membantu menyuarakan keinginan warga disana
(yang sudah menyediakan saya durian hutan kalimantan yang enak) untuk bisa ikut
merasakan pembangunan setelah 75 tahun Indonesia merdeka. Dan yang terpenting sebetulnya, saya mendapat
pelajaran hidup , dan itu sempat saya ungkapkan di suatu rapat yang memaparkan
kondisi wilayah ini. Dengan suara parau menahan tangis, saya ungkapkan pelajaran hidup yang saya
dapatkan.
Ledo, sebuah kecamatan di
Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Jarak dari Pontianak ±
200 Km yang dapat ditempuh ± 4,5 jam. Menuju Ledo dari Pontianak
tidak terlalu sulit karena akses yang cukup baik, yaitu melalui jalan nasional
Pontianak – Jagoi Babang. Jagoi Babang sendiri merupakan sebuah kecamatan
perbatasan dengan Serawak – Malaysia. Selain dilalui oleh jalan nasional, Ledo
juga dilalui oleh jalan provinsi dengan
kondisi yang sangat mulus. Jalan provinsi ini menghubungkan Ledo dengan
Kabupaten Sambas, yang merupakan kabupaten induk sebelum terbentuk Kabupaten
Bengkayang pada tahun 1999. Posisi Ledo yang dilalui oleh dua jalan strategis tersebut, berbanding terbalik dengan kondisi akses di desa-desa di
Kecamatan Ledo.
Kecamatan Ledo terdiri dari 12
desa. Merujuk pada nilai Indeks Pembangunan Desa yang dirilis pada
tahun 2014, tujuh desa termasuk klasifikasi berkembang dan lima desa termasuk
desa tertinggal. Pembagian klasifikasi desa tersebut, ternyata membentuk suatu
konfigurasi wilayah dimana desa berkembang berada di wilayah utara Ledo dan
desa yang tertinggal berada di wilayah selatan.
Bagian utara Kecamatan Ledo
penggunaan lahan didominasi oleh perkebunan sawit dan terdapat pabrik
pengolahan kelapa sawit/CPO serta sebagian besar mata pencaharian penduduk
menggantungkan pada sektor ini. Sawit menjadi ekonomi penggerak di
Ledo, dimana kontribusi produksi sawit dari Ledo terhadap produksi kabupaten
mencapai 30%.
Yang menarik dari wilayah utara
Ledo ini adalah,dahulunya merupakan daerah transmigasi . Menurut penuturan beberapa
warga, wilayah ini dibuka sekitar tahun 1992 dengan tujuan untuk mengembangkan
perkebunan sawit, dan sebagai pemenuhan tenaga kerja, didatangkan lah warga
dari
wilayah lain.
Penamaan beberapa desa
di wilayah ini, kental sekali dengan ciri
daerah trans, seperti Sukajaya dan Sukadamai.
Nuansa-nuansa daerah trans dapat dirasakan seperti masih terdapat beberapa
rumah dengan tulisan Rumah Dinas Staf KUPT XXVII
serta sekolah dengan nama
SD Trans.
|
SD Trans Sebakul |
|
Suasana di ruangan kelas SD Trans Sebakul |
Dengan kondisi jalan seperti itu,
sebetulnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi di wilayah Ledo bagian
selatan, yang penggunaan lahan nya bukan didominasi perkebunan sawit. Terdapat dua desa, yaitu Desa Dayung dan Desa
Lomba Karya yang hanya bisa di akses melalui sungai. Desa Sidai dan Desa Seles,
sama sekali tidak memiliki akses langsung menuju pusat ibukota Kecamatan Ledo.
Menuju Ledo dari kedua desa tersebut, harus memutar melalui kecamatan lain,
kemudian masuk ke pusat kota Bengkayang terlebih dahulu, dan selanjutnya melalui jalan nasional menuju
Ledo. Kondisi jalan menuju dua desa tersebut dari Kecamatan Suti Semarang
sangat buruk. Apabila musim penghujan datang, kedua desa ini terisolir
karena jalan berlumpur tidak dapat
dilalui. Saya tidak sempat mengunjungi kedua desa ini, tetapi dua
orang teman saya berhasil kesana. Kondisi jalan yang sangat buruk, sehingga
motor pun harus di modifikasi agar dapat melaluinya. Walaupun sudah di modif
sedemikian rupa, tetapi teman saya mengalami cerita lucu di tengah perjalanan,
mesin motornya sampai jebol. Masih menurut penuturan teman saya, dalam
perjalanan banyak ditemukan jembatan-jembatan konstruksi kayu yang kondisinya sudah
rusak, dan teman saya itu sempat
tersungkur jatuh karena medan yang sangat buruk.
Pengalaman bermotor di kondisi
jalan yang sangat buruk kemudian saya alami di perjalanan saya sepulang dari
sebuah Desa bernama Dayung. Pemberian nama desa tersebut, menurut penuturan
warga, karena dahulu kala menuju desa tersebut hanya bisa menggunakan dayung
menelusuri Sungai Sambas. Sampai dengan saat ini pun, menuju Desa Dayung harus
melalui sungai menggunakan perahu kayu yang sekarang sudah menggunakan mesin.
Waktu tempuh dari dermaga yang ada di ibukota Ledo sekitar 45 menit.
|
Perjalanan menuju Desa Dayung dan Lomba Karya Menelusuri Sungai Sambas |
|
Dermaga Dusun Batu Ajung - Desa Dayung yang sangat sederhana |
Desa
Dayung ini hanya terdiri dari 2 dusun. Dusun Batu Ajung yang merupakan pusat
desa, terdapat fasilitas kantor desa dan 1 unit Sekolah Dasar dan 1 unit
gereja. Jumlah rumah secara pastinya saya lupa,
± 100 – 150 rumah dengan
kondisi sebagian besar berkonstruksi kayu. Desa Dayung belum ada jaringan
listrik. Kebutuhan penerangan saat ini menggunakan panel surya individu di
setiap rumah dengan kapasitas yang sangat terbatas. Saking berharapnya
warga desa ingin mendapatkan penerangan,
mereka antusias sekali
menunjukan pada
kami ada
riam yang
potensial bisa diajadikan sebagai pembangkit
listrik tenaga micro hidro. Karena tidak kuasa menolak antusiasme warga , di
tengah terik matahari, kami melalukan hiking menelusuri jalan-jalan setapak
diantara rerimbunan pohon menuju sebuah sungai yang jaraknya dekat menurut
orang desa dan jauhhhh menurut kami.
|
medan menuju lokasi riam potensi PLTMH |
Perjalanan kami selanjutnya
menuju Dusun Dapan, belum ada jalan darat penghubung antar dusun, harus
men-dayung kembali. Waktu tempuh
± 15 menit. Setiba di dermaga tambatan
perahu,menuju Dusun Dapan harus menyeberang melalui jembatan yang
konstruksinya masih kayu, dan posisi dusun nya agak menjorok de dalam sekitar 1,5 Km dari pinggir sungai. Kondisi
permukiman mengelompok, sebagian besar konstruksi rumah dari kayu,
terdapat 1 unit gereja dan satu lapangan
terbuka yang cukup luas untuk bermain sepakbola dan bola voli. Sama seperti
dusun Batu Ajung, Dusun Dapan belum ada jaringan listrik. Penerangan berasal
dari mesin genset yang dikelola secara swadaya. Di dusun ini saya singgah di
rumah salah satu perangkat desa. Di tengah obrolan, saya bertanya, “listrik nya kuat untuk menonton TV pak ?”, dijawab oleh si
bapak : “kebetulan kami tidak memiliki TV bu...” Bodoh sekali saya bertanya. Si Bapak kemudian bercerita,
baik di dusun Batu Ajung maupun Dapan tidak ada SMP. SMP yang terdekat dengan
Dusun Dapan
berada di desa sebelah yaitu
Desa Lomba Karya. Karena jarak yang cukup jauh dan anak-anak harus berjalan
kaki menelusuri jalan setapak
(menggunakan perahu bermotor tidak sanggup karena biaya cukup mahal),
mereka berangkat dari rumah jam 05.30 dalam kondisi belum mandi. Dan baru
mandi
kemudian di sungai yang berdekatan
dengan sekolah.
|
Jembatan penyebrangan konstruksi kayu menuju Dusun Dapan |
|
Jaringan Listrk yang bersumber dari Genset yang dikelola swadaya |
Menjelang sore, kami kembali ke
Dusun Batu Ajung, saya memutuskan kembali ke pusat ibukota Ledo melalui
satu-satunya akses
jalan darat (karena
saya ingin mengetahui kondisinya). Sambil menunggu motor yang bisa mengantar
kami, saya lanjutkan sesi wawancara dengan warga mengenai sistem agribisnis
jagung yang sebagian besar diusahakan oleh warga Dayung.
Saat itulah , saya ikut merasakan bagaimana
warga melewati
menjelang malam dengan
kegelapan, saya menulis poin-poin wawancara di tengah pencahayaan yang sangat
minim.
Jalan darat yang kemudian saya
lalui ini, merupakan satu-satu nya akses yang diharapkan warga bisa terbangun,
untuk konektivitas yang lebih baik terutama menuju pusat pemasaran hasil-hasil
jagung , sehingga dapat mengurangi biaya logistik yang selama ini dirasa cukup berat
karena harus melalui sungai. Selain itu, agar anak2 usia SMP keatas bisa terus
melanjutkan sekolah dengan tidak harus kost di pusat kota Ledo.
Panjang nya hanya sekitar 6 Km, dan langsung
terhubung dengan Jalan Nasional Pontianak – Jagoi Babang. Jalan ini masih
berupa tanah merah, yang apabila turun hujan berubah menjadi lumpur sehingga
tidak bisa dilalui. Beruntung kami, sore itu tidak hujan, jalan masih bisa
dilalui walaupun masih dalam kondisi becek karena sehari sebelumnya hujan turun
sangat lebat. Di tengah perjalanan dalam kondisi langit sudah mulai gelap,
tiba-tiba motor yang saya tumpangi berhenti. Ada masalah di mesin. Bayangkan,
di tengah hutan, kondisi sudah gelap dan hanya kami ber-empat, dengan
mengandalkan penerangan dari handphone,
pikiran saya sudah macam-macam, takut diserang
ular lah...beruang lah... Untungnya masalah
segera bisa diatasi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan hati dag dig dug ingin
segera melihat di depan ada perkampungan, yang artinya sudah sampai di desa
yang dituju.
|
Kondisi satu-satunya jalan akses menuju Desa Dayung |
Adzan Isya berkumandang ketika
kami tiba di pusat kota Ledo, berarti perjalanan darat ± 1 jam karena kami beranjak
dari Dusun Batu Ajung, ketika menjelang magrib. Sungguh perjalanan yang luar
biasa dan saya mendapatkan pelajaran
hidup, selalu bersyukur karena masih banyak diluar sana
yang tidak seberuntung saya, yang ditakdirkan hidup di tengah moderinisasi kota.