Papua...akhirnya
menginjakan kaki juga disini...wish list tahun kemarin tercapai..
Alhamdulillah... Merauke … walaupun
tanpa pernah tahu dimana letak kota ini, semua orang Indonesia pasti pernah
mengucap nya atau minimal mendengar..
Sebelum
sampai di Merauke, pesawat yang membawa kami transit terlebih dahulu di Bandara Sentani, Jayapura...Yaiyy begitu
excited nya saya...dan Alhamdulillah penumpang transit diharuskan turun.. Akhirnya kaki ini menginjakan kaki di tanah Papua!!! dan begitu
keluar bandara, disuguhi pemandangan hijau nya perbukitan yang sungguh
menyejukan mata. (karena dari jakarta malam dan minum antimo, selama di
perjalanan saya tertidur pulas, sehingga ketika menjelang landing, tidak dapat
melihat pemandangan sekitar).
Lagi-lagi
karena effect antimo ketika melanjutkan penerbangan ke Merauke, saya tertidur
pulas. jadi, ketika menjelang landing, kembali saya tidak dapat menikmati
pemandangan Merauke dari udara.
Pertama
kali mata ini memandang Kota Merauke di Bandara Mopah, sudah terbayang bahwa
kota ini hanya kota yang kecil dan sebanding dengan desa di pedalaman kalau di
Pulau Jawa. Kesan itu masih tertanam dalam benak saya ketika kami menuju pusat
kota untuk mencari sarapan. Ketika beranjak menuju pusat pemerintahan, sedikit
demi sedikit wajah kota ini semakin terkuak..Pembangunan kawasan terbangun ternyata
telah cukup pesat , dan jujur saya belum merasakan ini di Papua..
Hal Ini disebabkan... beberapa tahun ke
belakang, saya pernah mengerjakan suatu pekerjaan di Kabupaten Tambrauw Papua Barat.
Kolega saya,
tidak menganjurkan saya untuk ikut survey. Menurutnya akses darat menuju Tambrauw dari Sorong sangat berat. Ketika
mengerjakan pekerjaaan itu, saya melihat beberapa video. Hal ini memberikan gambaran di benak saya, Papua itu hutan belantara dan
jaringan jalan masih berupa tanah liat.
Feel
Papua belum saya rasakan, mungkin dikarenakan Merauke adalah wilayah pesisir yang cenderung datar. Kota ini telah
cukup terbuka, karena ada akses laut dan udara serta dilalui jalan Trans Papua. Masyarakat
yang berada disini cukup beragam dari berbagai etnik. Selain suku asli Papua,
banyak terdapat suku Bugis, Jawa dan Madura. Satu hal yang kenapa saya belum
merasakan feel itu, karena tidak satupun saya menemukan suku asli yang hanya
memakai cawat dan koteka, : D
Feel
Papua itu akhirnya saya dapatkan ketika menuju Distrik sota, wilayah perbatasan
dengan Papua Nugini. Kota Merauke - Sota ditempuh dalam waktu 1,5 jam melalui
jaringan jalan darat Trans Papua. Jalan ini melalui Taman Nasional Wasur. Sepanjang
mata memandang hanya tampak jalan lurus dengan volume kendaraan sangat jarang
dan kanan kiri adalah pepohonan.
Jalan Trans Papua Merauke - Boven Digul |
Suatu hal
yang hanya mungkin ada di Merauke ini adalah terdapat 'sarang semut'. Sebetulnya
ini adalah rayap yang membuat 'bangunan' sampai menjulang tinggi. Sepanjang
jalan menuju Sota, banyak sekali ditemui sarang semut.
Sarang Semut di Taman Nasional Wasur |
Setelah
perjalanan 1,5 jam tibalah kami di Distrik Sota. Disini saya merasakan berada di pedalaman. Sebagian
besar rumah sudah permanen, dengan atap berbahan seng dan jarak antar rumah
cukup jauh. Begitu juga jarak jalan dengan rumah, masih cukup jauh. Distrik Sota
awalnya merupakan enclave di Taman
Nasional Wasur, yang kemudian dikeluarkan dari zona lindung. Sebagian besar masyarakat adalah penduduk asli Papua. Tampak muka - muka
non papua yang sebagian besar adalah tentara penjaga tapal batas.
Tugu Kembar Sabang-Merauke di Sota-Merauke |
Akhirnya,
tibalah saya di tapal batas Indonesia - Papua Nugini. Berada disini feel Papua
nya semakin dapat, karena sesekali berseliweran warga asli memakai sepeda dengan
membawa hasil_hasil hutan. Ya, mereka adalah penduduk Papua Nugini yang
melakukan barter di Distrik Sota. Dari PNG mereka membawa hasil- hasil hutan
untuk di barter dengan sembako dari Sota. Perkampungan terdekat di PNG jaraknya
18 km dari tapal batas. Akses
menuju kesana melalui jalan setapak konstruksi tanah.
Tapal Batas Negara Indonesia - PNG |
Tapal Batas Negara Ina - PNG tampak dari Udara |
Tapal
batas darat negara di Sota, merupakan tapal batas kedua yang sudah saya
kunjungi setelah di Sebatik, Kalimantan Utara. Menurut saya, kondisi tapal batas Sota ini jauh
lebih baik dibanding di Sebatik. Sudah ada penataan. Di sekitar tapal batas
terdapat taman dan beberapa kios kecil. Kios-kios itu menjual souvenir yang
merupakan hasil alam Papua. Minyak kayu putih, madu, minyak kasuari dan tas-tas
rajutan dari kayu adalah beberapa jenis souvenir yang dijual di kios-kios
tersebut. Yang menarik adalah kemasan dari barang-barang tersebut yang sangat
apa adanya sekali. Madu disimpan di botol bekas minuman mineral dan minuman suplemen
kesehatan. Yang menarik, ada minyak kayu putih yang memakai botol bekas vodka.
Pedagang kios-kios tersebut sebagian warga asli, dan beberapa barang berasal
dari penduduk Papua Nugini.
Madu asli hutan Papua dan Minyak Kayu Putih produksi lokal |
Minyak Kayu Putih lokal dikemas dalam botol bekas |
Menjelang
sore, kami kembali ke Kota Merauke. Lokasi yang dituju adalah pasar sore yang
berada di suatu lapangan terbuka persis di depan Bandara Mopah. Sebagian besar
penjual adalah penduduk asli Papua. Berada disini, benar-benar merasakan suatu
sistem penjualan yang sangat tradisional. Barang yang
diperjualbelikan yaitu hasil yang langsung diambil dari alam oleh penduduk asli
seperti ikan, umbi_umbian, sayuran dan buah-buahan. Transaksi langsung terjadi
antara produsen dengan konsumen, tanpa ada perantara pihak ketiga sebagai pemasok. Sistem
penjualannya pun tidak menggunakan timbangan, tetapi menggunakan sistem onggokan.
Satu hal yang menarik perhatian saya yaitu
mama-mama yang menjual buah mangga. Baru kali ini saya melihat ada mangga
berwarna merah. Mama penjual mangga menyebutnya mangga pipi merah. Sebagai
penggemar mangga, saya penasaran sekali akan rasanya. Saya meminta mama tersebut
mengupasnya, dan ternyata rasanya manis sedikit asam, enak dan segar. Satu
onggokan berisi 8 -10 biji yang
dijual hanya seharga sepuluh ribu.
Mangga Pipi Merah Khas Papua |
Hal
lain yang membuat saya tercengang yaitu ada mama-mama menjual burung kasuari. Satu
onggokan daging dijual hanya 50rb saja. Kalau ditimbang, saya perkirakan bisa
sampai 1,5 kg. Barang 'aneh' lainnya yang saya temui yaitu tupai panggang.
Daging Burung Kasuari yang dijual bebas di Pasar Tradisional Merauke |
Daging Tupai Panggang |
Setelah
terheran-heran dengan pasar tradisional, kemudian kaki kami melangkah ke bagian
pusat kota yang belum saya jelajahi. Kembali saya tersentak kaget, ternyata di
Merauke sudah terdapat bangunan pasar modern. Ini kembali membuka mata saya
kalau Merauke bukan sekedar 'seperti desa di pedalaman jawa'. Tetapi Merauke
sudah menjelma menuju suatu kota. Bangunan pasar modern berlantai lebih dari satu lantai ini milik
pemerintah. Sepanjang pengamatan saya, pasar ini sudah berfungsi sebagaimana
mestinya.
Pasar Modern Merauke |
Pusat Ibukota Merauke |
Ketika
hari semakin sore, kami bergegas lari ke pantai untuk mengejar sunset. Pantai
yang kami tuju yaitu Pantai Lampu satu. Jaraknya tidak begitu
jauh dari pusat kota, waktu tempuh tidak lebih dari 10 menit. Pantai sedang surut ketika kami tiba disana,
sehingga pantai tampak sangat begitu luas. Pantai lampu satu yang berada di Laut Arafura ini memiliki garis
pantai yang cukup panjang, dan kita bisa menikmati sunset yang sangat indah.
Pantai Lampu satu memiliki garis pantai yang cukup panjang |
Sunset di Pantai Lampu Satu |
Setelah
empat hari di Merauke, kami harus kembali ke Jakarta. Sebetulnya masih ada utang saya disini, belum menjelajah lebih jauh
Taman Nasional Wasur. Menurut cerita, kalau beruntung kita bisa menemukan
kanguru disana. Utang yang lainnya yaitu mengunjungi perbatasan laut Torasi.
Akses yang cukup sulit dan waktu tempuh yang cukup lama, membuat kami urung
mengunjunginya.
Tetapi
ada utang lain (karena effect antimo)
yang sudah terbayarkan. Saya berhasil memotret Kota Merauke
dari udara dan Danau Sentani. Pemandangan Danau Sentani yang dikelilingi bukit-bukit
hijau sungguh membuat saya tidak berhenti mengucap nama Allah. Karena ini pula
saya mengurungkan niat untuk minum antimo. Tangan saya standby memegang kamera
dan peta. Sepanjang perjalanan Jayapura-Makasar, 3 jam 'berkorban' tidak tidur hasilnya begitu
menakjubkan. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur kepada Allah atas berkah
dapat melihat keindahan alam Indonesia Timur, walaupun beberapa hanya lewat
udara.
Pemandangan menakjubkan di sekitar Bandara Sentani - Jayapura |
Dari perjalanan ini, ada satu hal yang membuat
saya serasa lengkap menjadi warga negara Indonesia. Hanya
dalam waktu 3 minggu berhasil menginjakan kaki di Sabang dan Merauke, diselingi
singgah beberapa hari di Manado (ibukota provinsi perbatasan utara Indonesia).
Dan satu hal
lagi yang membuat saya bahagia , saya berhasil membeli bubuk kopi wamena dan minum kopi nya langsung
di tanah Papua. Kenikmatan kopi
wamena yang tiada duanya, membuat perjalanan panjang ini sempurna!!
( 12
November 2015, ditulis sepanjang perjalanan panjang merauke _bandung).