Ketika mendapat tugas untuk suatu
penelitian tentang Suku Dayak di Kalimantan Tengah, pertama kali yang terbayang
dalam benak saya adalah suatu suku yang berdiam di tengah-tengah hutan dengan
pohon-pohon besar. Tetapi bayangan tersebut sirna ketika saya mengunjungi suatu
desa bernama Baun Bango yang terletak di pinggiran Sungai Katingan, sungai
terpanjang kedua di Kalimantan Tengah yang memiliki panjang ±650 Km, lebar ±300
Meter dan kedalaman terendah ± 6 M.
Baun Bango adalah ibukota Kecamatan
Kamipang, yang secara administrasi termasuk Kabupaten Katingan, Provinsi
Kalimantan Tengah. Jarak menuju Desa Baun Bango yang ditempuh melalui jalur
darat dari Kota Palangkaraya sekitar 154 Km dan dari Kota Kasongan (ibukota
Kabupaten Katingan) sekitar 71 Km. Perjalanan dari Kota Palangkaraya menuju
Kota Kasongan ditempuh kurang lebih 1,5 jam, dengan kondisi jalan yang sangat
mulus. Berbeda cerita ketika perjalanan menuju Desa Baun Bango dari Kasongan.
Jarak 71 Km ditempuh kurang lebih 3 jam. Cerita seru saya dapatkan dalam
perjalanan ini.
Pusat keramaian yang pertama kali
ditemui setelah Kasongan adalah Karang Pange. Orang-orang disana menyebut
Karang Pange seperti Texas, Kota Tambang Emas. Dibandingkan dengan Kasongan
sebagai ibukota kabupaten, Karang Pange memang lebih ramai terutama dari ketersediaan
sarana perdagangan. Di kota ini, saya menemukan suatu pemandangan yang sangat
menakjubkan. Sepanjang kanan kiri jalan terhampar lautan pasir putih, padahal
wilayah ini bukan pesisir. Ketika saya tanya pada driver, ternyata lautan pasir
itu bekas pertambangan emas. Konon katanya, pada era orde baru, suatu perusahaan
melakukan eksploitasi pertambangan emas. Kandungan isi bumi dikeluarkan untuk
mendapatkan pasir yang berkilau. Setelah isi kandungan bumi dikeluarkan, tanah tidak
dapat kembali seperti semula, tidak produktif, tidak dapat diolah, tidak dapat
ditanami apapun. Seperti halnya permadani, yang jahitannya terpaksa dibuka dan
dikorek sampe dalam. Permadani itu tidak akan berbentuk seperti semula, rusak
terkoyak. Miris melihat ribuan hektar tanah terhampar rusak, tidak dapat
dimanfaatkan.
Hamparan pasir putih eks pertambangan emas di Karang Pange - Kalimantan Tengah |
Jalanan yang berada diantara hamparan
pasir eks tambang emas, ternyata adalah
ruas jalan terakhir yang relatif baik. Setelah hamparan pasir itu
berlalu, mulailah episode offroad kami melewati jalan tanah berbatu. Parah
sangat parah jalan yang kami lalui, entah bagaimana ceritanya kalo pas hujan
melewatinya, mungkin benar-benar di arena offroad berlumpur.
Kondisi jalan dan jembatan menuju Desa Baun Bango |
Saya membayangkan,
mungkin dahulu ini jalan dibuat dengan membuka hutan. Karena di kanan kiri
sepanjang jalan adalah hamparan hutan yang sayangnya sudah tidak rimbun lagi.
Kalau melihat dari kemiringan dan ketinggian lahan, sepertinya hutan-hutan yang
kami lalui memang bukan hutan lindung, mungkin masuk kategori hutan produksi. Sepertinya
lahan hutan tersebut sedang dibuka untuk
lahan kelapa sawit.
Sepanjang jalan dari arah Karang Pange
menuju Baun Bango, tidak banyak permukiman penduduk yang kami temui. Hanya ada
beberapa warung, yang mungkin berfungsi sebagai “rest area”. Semakin dekat
menuju Baun Bango, kami menemukan permukiman transmigrasi. Beberapa Km setelah
permukiman transmigrasi, kondisi jalan kemudian mulai membaik. Ternyata, kami
mulai memasuki pusat kecamatan Kamipang. Lahan terbangun yang pertama ditemui
adalah pusat perkantoran, yang pada saat kami kesana, perkantoran tersebut
belum ditempati. Kemudian, semakin ke dalam mulailah ditemui banyak perumahan
penduduk yang berjejer sepanjang jalan. Inilah Desa Baun Bango, sebagai ibukota
Kecamatan Kamipang. Dan desa ini, adalah desa terakhir yang terdapat jaringan
jalan darat. Untuk menuju desa-desa yang terletak di hilir, harus menggunakan alat
transportasi sungai, yaitu perahu kelotok atau perahu ces (perahu kayu yang
bermesin).
Kelotok sebagai alat transportasi andalan masyarakat di sepanjang Sungai Katingan |
Sebagai ibukota kecamatan, pusat
pelayanan berada di Baun Bango. Selain kantor kecamatan, terdapat kantor
polisi, kantor koramil dan puskesmas rawat inap. Fasilitas pendidikan mulai
dari SD, SMP dan SMK. Fasilitas perekonomian selain warung yang tersebar
diantara rumah penduduk, terdapat satu unit pasar yang hanya beroperasi pada
hari sabtu sore sampai malam minggu.
Beruntung saya bisa menyaksikan hiruk
pikuk “pusat perbelanjaan” ala desa tersebut. Sejak sore masyarakat tua dan
muda berbondong-bondong menuju pasar. Seperti halnya masyarakat kota yang harus
‘gaya’ menuju mal, masyarakat disana terutama anak-anak remaja juga ‘bergaya’
menuju pasar. Jenis barang yang dijual mulai dari sayur mayur, peralatan rumah
tangga, baju, mainan anak-anak dan juga makanan. Ibu-ibu biasa berbelanja untuk
stok satu minggu. Selain penduduk Baun Bango, pasar juga dipenuhi oleh para
pekerja pabrik sawit yang berada di sekitar Baun Bango.
Suasana pasar malam mingguan di Desa Baon Bango |
Terdapat satu penginapan dengan
fasilitas yang sangat sederhana tetapi sangat bersih. Penginapan dua lantai ini
menyediakan satu kamar besar di bawah dan 4 kamar di atas, ruang tamu dan ruang
makan. Terdapat beranda yang menghadap ke Sungai Katingan. Seperti umumnya
kebanyakan rumah penduduk, penginapan ini berbentuk rumah panggung. Walaupun
sebagian besar rumah di Desa Baun Bango tidak memiliki MCK (penduduk memanfaatkan
sungai untuk aktivitas ini), tetapi penginapan telah menyediakan dua unit MCK.
Penginapan di Desa Baun Bango |
Jumlah penduduk Baun Bango pada tahun
2013 yaitu 875 jiwa. Agama yang dianut penduduk yaitu islam, kristen dan hindu
kaharingan. Mereka hidup harmonis berdampingan dan bebas beribadah di tempat
ibadah masing-masing. Terdapat gereja, masjid dan balai basarah sebagai
fasilitas ibadah. Berdasarkan data dalam Profil Kecamatan Kamipang Tahun 2013,
agama kedua terbesar setelah Islam adalah Hindu Kaharingan. Jumlah penganut
Hindu Kaharingan sekitar 157 orang. Kebetulan saya berkesempatan bersilaturahmi
ke rumah Pak Jojon, seorang tokoh Hindu Kaharingan.
Rumah Pak Jojon, berbentuk rumah
panggung seperti umumnya rumah penduduk Baun Bango. Hanya, rumah tersebut lebih
tinggi dari rumah-rumah lainnya. Tingginya sekitar 2 meter. Material dinding
terbuat dari kayu, begitu pula dengan lantai-nya. Hanya atap-nya saja sudah
memakai material modern, yaitu seng, sudah tidak menggunakan atap rumbia.
Terdapat beranda sebelum memasuki rumah. Ruang tamu berfungsi ganda sebagai
ruang keluarga. Ini merupakan ruang terluas dibandingkan dengan ruang lainnya.
Ruang tamu yang begitu luas tersebut, memiliki makna keterbukaan dan
kebersamaan, sesuai karakter orang Dayak. Di bagian tengah merupakan ruang
kamar tidur yang dibuat bersekat-sekat. Dapur merupakan ruangan paling
belakang. Yang menarik, Pak Jojon memperlihatkan senjata-senjata khas Dayak
seperti mandau dan sumpit. Selain itu, Pak Jojon juga mengeluarkan pakaian yang
biasa digunakan dalam upacara adat.
mandau, tombak dan sumpit, senjata suku Dayak |
Pak Jojon, seorang tokoh hindu Kaharingan |
Mata pencaharian sebagian besar
penduduk Baun Bango adalah nelayan. Mereka biasa mencari ikan di sungai dan di
danau-danau yang berada di sekitar sungai. Karena sungai merupakan bagian dari
kehidupan, tidak pernah penduduk menggunakan bahan peledak untuk mendapatkan
ikan. Mereka mencari ikan dengan cara yang sangat tradisional, memancing ikan
dengan menggunakan perahu. Beberapa penduduk membudidayakan ikan menggunakan
keramba di sungai. Uniknya, penduduk juga menggunakan jaring untuk menangkap
ikan. Jaring tersebut disimpan di sungai atau di danau-danau.
Teknik-teknik memancing ikan tradisional |
Sepanjang saya berkeliling di Desa
Baun Bango, saya menemukan dua buah danau. Satu danau kecil yang berada di
belakang permukiman penduduk, dan satu lagi Danau Jalanpangen yang dapat
ditempuh sekitar 10 menit menggunakan speed boat dari pusat Desa Baun Bango.
Menuju danau ini, terlebih dahulu
menelusuri sungai kecil, dengan pohon mangrove di sisi kanan kirinya. Airnya
begitu jernih, sehingga ketika kita melihat ke bawah, seperti melihat
cermin. Selepas melewati sungai ini,
pemandangan indah terhampar di depan mata, danau yang begitu luas dengan
beberapa rimbun pohon di tengahnya, seperti membentuk pulau-pulau. Danau inilah
yang berfungsi sebagai sumber mata pencaharian penduduk. Mereka memasang jaring
dan mendirikan rumah terapung di atas danau. Rumah terapung dibangun diatas
rakit dan dapat dipindahkan. Rumah tersebut berfungsi sebagai rumah singgah
sementara, ketika para nelayan menunggu ikan terjaring perangkap yang mereka
buat.
Keindahan yang disuguhkan Danau Jalanpangen,
Sungai Katingan dan sungai-sungai kecil di sekitarnya, sebetulnya sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata alam yang terintegrasi dengan
Taman Nasional Sebangau. Selain itu, kehidupan harmoni masyarakat Desa Baun
Bango dapat menjadi nilai tambah untuk
pengembangan wisata alam di Desa Baun Bango.
Lukisan alam yang sangat menakjubkan di Danau Jalanpangen |