Puasa.... yaiiyyy....kmrn saya berusaha
mengingat....bersama siapa saya
melewatkan puasa beberapa tahun kebelakang?? Kemudian teringat, bersama si ini,
bersama si itu, hahahaha...
Tetapi, akan terlalu personal kalo diceritakan
disini apa yang terjadi pada masa lalu itu, hahaha...jadi, akan saya ceritakan
saja sedang berada di kota mana pada saat puasa itu.
Kenangan puasa pada masa kecil hanya sedikit yang
saya ingat. Sebagian masa kecil saya dihabiskan di Kota Kuningan, suatu kota di
Jawa Barat yang berhawa sejuk. Yang masih teringat dalam benak saya adalah,
pada saat itu saya sedang belajar puasa, dan sambil menunggu datangnya waktu
berbuka, ibu saya suka mengajak saya ke sekolah-nya (ibu saya berprofesi
sebagai guru) dan kemudian pulang ke rumah dengan membawa makanan sebagai
hadiah puasa saya full satu hari. Kemudian, setengah masa kecil saya di
Cirebon, kota yang berhawa panas. Yang teringat hanya saya pernah berjualan
lotre pada waktu itu, hahahaa...
Masa remaja, masih tinggal di Cirebon, dan susah
untuk mengingat adakah yang istimewa pada saat puasa pada masa itu.. dan masa
menuju dewasa yaitu jadi anak kost di Bandung, dan mencari makanan untuk sahur,
adalah hal yang tersulit, karena harus lebih cepat lebih baik keluar ke warung
terdekat mencari makanan, karena terlambat sedikit sudah tidak ada apa-apa. Dan
kenangan yang melekat di benak adalah tawaran bapak dan ibu kost (sepasang
kakek nenek yang sudah menganggap saya anaknya sendiri, sampai panggilan kepada
beliau pun sama dengan anak2 mereka “
amah” dan “apa”) untuk tidak usah mencari makanan di luar, sahur bersama-sama
mereka.
Masa seharusnya sudah menjadi dewasa, karena sudah
lulus kuliah dan bekerja, ehm ;-) lebih
banyak saya lewatkan di luar kota. Puasa tahun 2003, saya menjalankannya di
Kota Jambi. Bersama keluarga adik kelas saya, dimas cipta nugraha, yang
kebetulan orang tuanya adalah pemilik konsultan yang proyek-nya sedang saya
kerjakan. Cukup sulit melewatkan puasa di Jambi, karena cuaca yang panas, dan
lokasi pekerjaan sekitar 2 jam dari Kota Jambi. Selain itu, ibu Dimas berasal
dari Sumatera Barat, dan makanan yang dihidangkan masakan minang yang
pedas-pedas. Waduh, pada saat itu, saya tidak terbiasa dengan makanan pedas dan
saya punya penyakit maag. Sementara kan pada saat itu, saya harus berstamina
tinggi, karena harus PP Jambi – Kab Batanghari. Untuk request makanan tidak
pedas, saya malu meminta pada ibu, dan daripada saya tidak makan, pernah saya
cuci terlebih dahulu dengan air panas telor balado-nya, hahaha.
Tahun berikutnya, tahun 2004, puasa saya lewatkan
di Kota Padang. Pada saat itu, saya tinggal juga di keluarga yang pastinya
minang dong, ahahaha.. Tapi untuk makan sahur, saya bisa request yang tidak
pedas pada tante neng, sang pemilik rumah. Yang teringat pada saat puasa di
Padang adalah kebiasaan keluarga tante neng yang mengharuskan anak-anaknya
minum susu pada saat sahur, dan saya juga “dipaksa” untuk melakukan hal
tersebut, hahaha. Selain itu, kebiasaan lain di keluarga tante neng adalah
Ta’jil-nya berupa minuman dingin. Dyuh, padahal itu pantangan bagi saya, dan
terbiasa dengan kolak sebagai pembuka.
Tahun 2005 sampai tahun 2009, puasa saya lewatkan
di Aceh. Inilah saat-saat puasa yang sangat berkesan bagi saya. Tahun 2005,
saya tinggal satu rumah dengan teman-teman yang berasal dari Aceh sendiri, dari
Lombok, Jakarta dan Bandung. Mayoritas teman satu rumah itu adalah abang-abang
yang sudah berkeluarga dan saya di daulat sebagai juru masak.. yuhuuuu...
Pada saat sahur pertama, saya pernah
berdoa..:”Tahun ini saya menghidangkan sahur untuk para suami orang
mudah-mudahan tahun depan saya menghidangkan sahur untuk suami saya sendiri,
aamiin” , hahahahhaa..aasiikkkk !
Hal lain yang berkesan di Aceh adalah puasa
benar-benar suasana puasa, karena tidak ada satupun warung makanan buka, dan
tidak ada warung yang hanya keliatan kaki pelanggan-nya saja. Dan saat taraweh,
suasana kota benar-benar sunyi senyap, yang rame hanya di masjid-masjid. Dan
kota kembali bergeliat setelah taraweh usai, toko dan warung kopi kembali buka.
Selain itu, kebiasaan kaum perempuan disana yang harus wajib sudah memakai mukena
pada saat masuk ke dalam masjid. Tentang ini, saya pernah ditegur karena pada
saat masuk ke Masjid Raya Baiturrahman,
saya belum memakai mukena, dan bercelana jeans sedikit ketat,
hihihiiii.maluuuu....
Yang teringat pada saat puasa tahun 2005 juga
adalah terjadi gempa yang lumayan besar. Pertama pada saat awal2 puasa di Kota
Banda Aceh dan pada saat taraweh, pada saat
itu saya sedang berada di Kota Sigli. Dan ada satu hal lucu juga yang teringat
adalah kami pernah mau taraweh di masjid dekat rumah, dan terpaksa harus
kembali lagi karena tidak kebagian tempat untuk sholat, masjid full. Masya
Allah.
Tahun terakhir saya menjalankan
puasa di Serambi Mekah yaitu tahun 2009, dan inilah puncak-nya yang paling
berkesan. Pada saat itu, saya bergabung dengan CCers, suatu komunitas warung
kopi. Kami pada saat itu, melakukan safari ramadhan dari satu masjid ke masjid
lainnya di Kota Banda Aceh. Yang konyol, pernah taraweh di satu masjid,
ternyata shalatnya 21 Rakaat... kami baru menyadarinya ketika kok tidak kunjung
sholat witir, kemudian setelah rakaat ke 12 kami kabur keluar masjid, menuju
warung kopi, hahahaha..
Tahun 2010, puasa saya di
Jakarta. Bersama Ibu Tasmi dan suami.
Kami hanya tinggal bertiga di rumah itu, dan Bu Tasmi memiliki kebiasaan
sahur tidak menjelang imsak. Kebalikan dengan kebiasaan saya, yang sahur
mendekati imsak. Jadi, akhirnya saya sahur belakangan, sendirian.
Tahun 2011 dan 2012 kembali saya
berpuasa di Kota Bandung, bersama teman satu kontrakan berdarah Minang. Tidak
kesulitan saya beradaptasi dengan hidangan Minang pada saat sahur, karena sudah
bertahun-tahun tinggal di Sumatera, lidah dan perut saya sudah terbiasa dengan
yang pedas-pedas. Si teteh Rita ini, pandai sekali memasak, sehingga saya tidak
perlu berepot-repot memasak sahur dan menyiapkan hidangan berbuka, saya hanya tinggal
menyantapnya saja. Asiiikk, haha.
Dan tahun ini, tahun 2013, Insya
Allah saya akan menjalankan puasa di Bandung. Namun, pasti suasana-nya akan
sangat jauh berbeda dari suasana kekeluargaan di atas. Karena, saya akan
menjaninya sendirian, hiks...Tapi ...harus tetap semangat,hehehe, semua pasti
ada hikmah-nya... J...
Yang pasti bahwa saya tidak boleh berputus asa untuk tetap berdoa seperti yang pernah
dilakukan waktu puasa di Aceh bersama
abang-abang saya... “mudah-mudahan tahun depan saya menghidangkan sahur untuk
suami saya sendiri, aamiin” hahahahahhahahayyy...